Begitulah, manusia dilahirkan untuk sebuah tujuan. Ketika tak lagi terperikan betapa, tetap saja hati berbicara.
Bersembunyi di dasar hati, tujuan sejati menunggu waktu. Percikan cahaya menerangi kalbu serupa pesta kembang api milyaran tahun lalu di semesta kita. Sedikit saja serpihan cahaya datang menjatuhkan diri di dasar hati, maka betapa, sebuah ledakan besar dari sebuah runtutan reaksi berantai berurutan memburu.
Semua yang bersembunyi menampak diri, dalam rupanya sempurna. Lihat satu-satu dan kilatan-kilatan cahaya berlompatan di neuronku memburu ingatan azali, ketika jiwa berjanji pada Tuhan, patuh sembah tak berbantah.
Bukanlah pada segala yang dunia tawarkan aku menyerah, aku hanya sedang mencari ke-Maha-an-Nya di semesta raya. Pada bintang-bintang di malam dan rembulan yang melantang terang. Pada lumut yang menengok surya di barat, yang menghijau serupa karpet di lantai tanah atau sweater hijau kemilau batang pokok pohon. Pada karang-karang di lautan yang menantang ombak pasang purnama. Pada matahari yang diperjalankan di siang terang untuk mengantar energi ke seluruh mayapada. Pada hujan yang tercurah begitu deras menghidupi bumi yang mati. Pada semut yang berbarisan pulang-pergi sarang menumpuk makan. Pada segala yang terlihat mata, terdengar telinga, tercium hidung, teraba tangan, terlewati langkah kaki.
Pada setiap hembusan nafas, aku menjelma. Meminta sebuah rasa pada-Mu yang aku ingini dengan sangat. Ah, rindu yang menyengat! Hanya datang karenaMu mau. Bisakah mau-Mu jadi mauku? Sedang aku tak lagi begitu mampu.
Baiklah, tak semua bisa berlalu bersama angin, selalu ada yang tertinggal di balik bayangan. Apakah aku harus mengais yang tertinggal atau pergi saja dengan angin? Yang mana yang ada diri-Mu? Diam pada yang tersisa dan menyimpan misteri atau terbang bersama angin yang lebih misteri? Ah, aku sungguh belum mengerti. Merajut catatan hidup di tepian hati yang tersamar.
0 komentar:
Posting Komentar