Senin, 03 Mei 2010

Celoteh, 1 mei 2010

Ketika ditanya seorang perempuan apakah aku mencintainya, segera saja timbul kebingungan dalam diriku. Apakah semua perasaan yang aku miliki pada perempuan itu adalah cinta? Ketika aku mencoba menelaah isi hati Lalu semuanya jadi rumit ketika ada perempuan lain yang bertanya hal yang sama. Lalu apa boleh aku mencintai mereka semua yang mencintai diriku? Walaupun pada akhirnya, aku hanya boleh memilih satu saja? Ya Allah lindungilah hamba,,

Aku membaca tulisan yang menjernihkan hati, "cintailah semua yang Allah cintai! Allah mencintai semua makhluk". Maka aku pun mencintai semua yang dapat dicintai, semuanya, secara setara. Mencintai jilbab-jilbab, mencintai pohon, matahari, angin, hujan, segala, setara. Maka mukaku akan berseri ketika melihat mereka, ah, aku cinta kalian, dan seperti setiap pecinta, selalu merasa bahagia ketika jumpa yang dicintanya.

Tapi, selalu saja ada yang lebih. Seperti aku lebih mencintai gerimis dibanding terik mentari, lebih mencintai pohon dibanding semak, lebih mencintai satu wanita dibanding lainnya. Dan hal ini sangat mengganggu. Jatuh cinta pada satu wanita membuat setengah akalku hilang. Hatiku bergolak, asmara, begitulah kata orang. Maka aku akan membunuhnya. Membuat semua cintaku kembali setara.

Tapi, aku tahu, Allah tak mencintai makhluk-Nya secara setara, tapi secara adil. Maka Allah memuliakan Rasulullah Muhammad dibanding Rasul-Rasul lainnya. Allah memuliakan orang mukmin atas orang-orang kafir. Allah meninggikan kedudukan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Maka aku pun mulai belajar mencintai makhluk-Nya secara berkeadilan.

Setelah merasakan semua cinta itu maka dapatlah aku melihat dengan lebih jelas. Dengan cinta seperti apa aku mencintai apa. Aku akan mencintai pohon seperti benih, bersembunyi di balik tanah lalu muncul malu-malu, menggeliat kemudian tumbuh tegak dengan sebuah senyuman. Aku akan mencintai matahari seperti api, hanya membakar apa yang bisa dibakar. Aku akan mencintai wanita seperti rahim, yang selalu terluka sampai benih tersemai didalamnya.

Lalu tentang cinta manusia sendiri aku melihat ada beberapa jenis. Ada cinta gharisah, cinta yang secara naluriah sudah ada sejak kita dilahirkan. Seperti cinta bayi pada ibu dan sebaliknya. Lalu cinta kedunian, cinta yang sangat dipengaruhi hawa nafsu. Contohnya adalah ketika kita mencintai seseorang karena fisik (cantik, tampan, tinggi, putih, pirang, bermata indah, dll) dan tampilan luarnya (sifatnya baik, ramah, tegas, puitis, romantis, tegas, berwibawa, dll). Lalu ada cinta sanubari, cinta yang tak lagi dipengaruhi nafsu, tapi, benar-benar lahir dari hati yang tulus, hati sanubari kita. Cinta keduniaan akan berubah menjadi cinta sanubari ketika kita mencintai seseorang bukan karena fisik dan tampilan luarnya, tapi, lebih karena misalnya tingkat keshaoehan dan kemampuannya menentramkan jiwa kita (bukan malah membuat kita gelisah).

Lalu yang selanjutnya, cinta yang menurutku adalah cinta yang tertinggi, mahabbatullah. Cinta kepada Allah. Cinta yang terus-menerus harus dilatih sampai pada kepuasan tertinggi, fana. Semuanya tak ada, hanya Allah yang hadir dalam hati. Setelah ini tercapai, maka kita akan memandang dunia secara berbeda. Segalanya tak perlu kecuali yang Allah perintahkan. Semua nafsyu tak perlu, kecuali yang sekedar dibutuhkan. Lalu, menjelmalah cinta itu menjadi rahmatan lil alamin.

Lalu cinta mana yg telah kita capai?,,

Curahan Hati, 4 mei 2010

Begitulah, manusia dilahirkan untuk sebuah tujuan. Ketika tak lagi terperikan betapa, tetap saja hati berbicara.

Bersembunyi di dasar hati, tujuan sejati menunggu waktu. Percikan cahaya menerangi kalbu serupa pesta kembang api milyaran tahun lalu di semesta kita. Sedikit saja serpihan cahaya datang menjatuhkan diri di dasar hati, maka betapa, sebuah ledakan besar dari sebuah runtutan reaksi berantai berurutan memburu.

Semua yang bersembunyi menampak diri, dalam rupanya sempurna. Lihat satu-satu dan kilatan-kilatan cahaya berlompatan di neuronku memburu ingatan azali, ketika jiwa berjanji pada Tuhan, patuh sembah tak berbantah.

Bukanlah pada segala yang dunia tawarkan aku menyerah, aku hanya sedang mencari ke-Maha-an-Nya di semesta raya. Pada bintang-bintang di malam dan rembulan yang melantang terang. Pada lumut yang menengok surya di barat, yang menghijau serupa karpet di lantai tanah atau sweater hijau kemilau batang pokok pohon. Pada karang-karang di lautan yang menantang ombak pasang purnama. Pada matahari yang diperjalankan di siang terang untuk mengantar energi ke seluruh mayapada. Pada hujan yang tercurah begitu deras menghidupi bumi yang mati. Pada semut yang berbarisan pulang-pergi sarang menumpuk makan. Pada segala yang terlihat mata, terdengar telinga, tercium hidung, teraba tangan, terlewati langkah kaki.

Pada setiap hembusan nafas, aku menjelma. Meminta sebuah rasa pada-Mu yang aku ingini dengan sangat. Ah, rindu yang menyengat! Hanya datang karenaMu mau. Bisakah mau-Mu jadi mauku? Sedang aku tak lagi begitu mampu.

Baiklah, tak semua bisa berlalu bersama angin, selalu ada yang tertinggal di balik bayangan. Apakah aku harus mengais yang tertinggal atau pergi saja dengan angin? Yang mana yang ada diri-Mu? Diam pada yang tersisa dan menyimpan misteri atau terbang bersama angin yang lebih misteri? Ah, aku sungguh belum mengerti. Merajut catatan hidup di tepian hati yang tersamar.

Celoteh, 4 mei 2010

waktu menumpuk memori begitu saja dalam otak, yang sampah tersimpan jauh dalam-tengelam, yang indah mengendap dan dikenang sepanjang hayat. yang hampa hanya terbang tak tentu arah.

kejadian berlarian dalam lorong-lorong panjang kehidupan terus ditinggalkan, ada yang dikenang, banyak dilupakan.

satu-satu datang dan pergi meninggalkan jejak dalam hati: kehangatan, kesal, benci, cinta, tawa, duka, sedih, tenang, tegang semua rasa tertinggal di dasar hati terus menumpuk membentuk piramida: diri sekarang ini.

masa-masa ketika tak mampu mengingat dengan mata dan telinga, hanya merasakan dan menghafal gerak dan reflek, mata yang menoleh, menutup kelopak, mulut yang menganga, mengeluar suara tangis, mengeluar suara ba-bi-bu terbata-bata, menunggu suapan dan asupan asi Ibu.

masa-masa ketika otot-otot kaki sedemikian hebat menopang berat tubuh lalu pita suara dan lidah mengucap kata-kata sempurna pertama, setelah itu kita berlari: mengejar dan ingin tahu segalanya secepatnya, begitu tergesa dan penuh antusias.

mata-mata yang berbinar menunggu pelajaran pertama di sekolah, beberapa mungkin kecewa, kenapa guru kelas satu segalak ini, beberapa tersenyum gembira: aku bisa, yang lain terduduk menunggu waktu pulang atau menangis karena tak melihat Ibu di depan pintu.

atau melihat saku kosong yang terdiam, melaju untuk semesta tak berujung.

masa-masa sulit ketika kita menyerah dan menangis.

masa-masa penantian.

masa-masa penaklukan.

masa-masa pengejaran.

masa-masa berhenti lalu berlari mengejar mimpi.

masa-masa yang pergi berlalu cepat tak terkejar lagi.

dirimu yang masa lalu atau sekarang yang akan kau tinggalkan?

Proyeksi Diri, 4 mei 2010
Ada sebuah keluarga muda yang baru dikaruniai seorang putra. Mereka memelihara seekor kucing yang dirawat sejak kecil. Saking dekatnya keluarga tersebut seakan bisa berkomunikasi dengan sang kucing. Kucing itu pun seakan menjadi penjaga bagi bayi milik keluarga tersebut.

Suatu waktu, ketika sang ayah pergi ke kantor, sang ibu pergi keluar sebentar untuk belanja ke warung. Sang ibu tidak khawatir meninggalkan bayinya yang sedang tidur karena ia pikir sang kucing akan menjaganya.

Saat sang ibu sampai di rumah, ia tersentak kaget. Sang kucing melenggang bangga keluar dari kamar bayi sambil menjilati darah di bibirnya. Sang ibu lantas lemas, tetapi kemarahannya tak terbendung lagi. Ia segera mengambil ulekan dari dapur. Ulekan tersebut lantas dihantamkan ke kepala kucing yang sedang mencoba tidur di atas karpet ruang tengah. Satu hantaman saja kucing tersebut tewas dengan darah membuncah dari kepalanya.

Sang ibu segera berlari menuju kamar bayinya. Ia kembali tersentak kaget. Ternyata bayinya masih utuh dan tertidur pulas di atas kasur bayi. “Lalu darah apa yang ada di mulut kucing tadi?”, pikir sang ibu kebingungan. Ketika mencoba mendekati bayinya sang ibu melihat ternyata ada ular mati yang tercabik-cabik dekat kasur bayi.

Ternyata darah di badan sang kucing itu bukan darah bayinya, tetapi darah ular yang mungkin hendak menerkam anaknya. Artinya sang kucing adalah pahlawan!

Apa mau dikata nasi sudah jadi bubur. Apa yang sudah pergi tidak bisa kembali lagi. Coba dari awal sang ibu yang sudah lama percaya bahwa kucing adalah penjaga bayinya memelihara keyakinannya, tentu hal ini tidak terjadi. Atau setidaknya ia mengecek dulu apa yang terjadi sebelum menjatuhkan hukuman.

Kisah di atas saya gubah dari salah satu cerita pada ceramah tarawih Ustadz Asep Zaenal Ausop yang beberapa hari lalu berceramah di Salman. Sebenarnya materinya cukup serius. Sedikit menyinggung peran media dalam pembentukan opini. Juga menyinggung-nyinggung masalah terorisme yang saat itu masih sedikit hangat. Tapi kisah ini yang paling saya ingat dan saya pikir bisa cukup menggambarkan keseluruhan ceramahnya.

Kalau kita pikir, kejadian di atas sering kali kita alami. Kita dengan mudah memvonis seseorang. Menurut saya sikap yang paling buruk adalah memvonis orang yang baru sekali kita temui. Misalnya menjudge orang itu hedon dari pakaiannya. Atau yang sedikit lebih serius, kita kadang mencap orang radikal dari celananya yang ngatung dan jenggotnya yang panjang. Penyakit ini namanya generalisasi. Memang bisa jadi ia merupakan bagian dari komunitas tertentu. Namun demikian kisah hidup mereka tidak sama satu sama lainnya.

Saya punya keyakinan bahwa satu-satunya yang boleh memvonis hanyalah hakim. Ia berhak memvonis karena ia telah melihat bukti-bukti dan mendengar saksi-saksi. Itupun bila ragu atau dalam keadaan marah maka ia tidak boleh menjatuhkan putusan. Lalu apa hak kita menilai seseorang yang yang hanya kita ketahui sedikit dari kisah hidupnya. Siapa tahu apa yang ia lakukan justru demi kebaikan kita hanya saja kita belum mengerti.

Yang tidak masuk akal adalah kita kadang bisa memutuskan hubungan dengan orang yang sudah lama kita percayai. Dan tiba-tiba percaya pada orang asing yang mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya. Tahanlah penilaian anda ketika anda selintas mengetahui sesuatu. Apa susahnya bertanya lebih dahulu bila ada suatu peristiwa yang terjadi. Dengarkanlah apa penjelasan yang ia punya. Batas antara kesalahpahaman dan saling pengertian adalah komunikasi.
http://irpanhakim.wordpress.com

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

Profil

Foto saya
Jakarta, jakarta selatan, Indonesia
Remaja. Tinggal di Jakarta. Sedang berusaha menemukan jawaban dari "Siapa saya?". Mencintai binar mata kanak-kanak, langit senja, aroma tanah basah, gelembung sabun, cokelat panas, tertawa keras-keras, dan berpelukan. Tergila-gila pada blog, humor, dan segala jenis buku. Teman yang menyenangkan dan menyebalkan, tergantung suasana hati. Baginya, menulis adalah terapi sekaligus sarana pencarian jati diri. Jadi, jangan tertipu oleh tulisan. Sapa dia jika bertemu di jalan, karena dia akan menyapa balik. Tapi jangan coba-coba menginjak kakinya di dalam angkot, atau menghembuskan asap rokok tepat di mukanya.

Followers

Total Tayangan Halaman

Popular Posts