Senin, 03 Mei 2010

Proyeksi Diri, 4 mei 2010
Ada sebuah keluarga muda yang baru dikaruniai seorang putra. Mereka memelihara seekor kucing yang dirawat sejak kecil. Saking dekatnya keluarga tersebut seakan bisa berkomunikasi dengan sang kucing. Kucing itu pun seakan menjadi penjaga bagi bayi milik keluarga tersebut.

Suatu waktu, ketika sang ayah pergi ke kantor, sang ibu pergi keluar sebentar untuk belanja ke warung. Sang ibu tidak khawatir meninggalkan bayinya yang sedang tidur karena ia pikir sang kucing akan menjaganya.

Saat sang ibu sampai di rumah, ia tersentak kaget. Sang kucing melenggang bangga keluar dari kamar bayi sambil menjilati darah di bibirnya. Sang ibu lantas lemas, tetapi kemarahannya tak terbendung lagi. Ia segera mengambil ulekan dari dapur. Ulekan tersebut lantas dihantamkan ke kepala kucing yang sedang mencoba tidur di atas karpet ruang tengah. Satu hantaman saja kucing tersebut tewas dengan darah membuncah dari kepalanya.

Sang ibu segera berlari menuju kamar bayinya. Ia kembali tersentak kaget. Ternyata bayinya masih utuh dan tertidur pulas di atas kasur bayi. “Lalu darah apa yang ada di mulut kucing tadi?”, pikir sang ibu kebingungan. Ketika mencoba mendekati bayinya sang ibu melihat ternyata ada ular mati yang tercabik-cabik dekat kasur bayi.

Ternyata darah di badan sang kucing itu bukan darah bayinya, tetapi darah ular yang mungkin hendak menerkam anaknya. Artinya sang kucing adalah pahlawan!

Apa mau dikata nasi sudah jadi bubur. Apa yang sudah pergi tidak bisa kembali lagi. Coba dari awal sang ibu yang sudah lama percaya bahwa kucing adalah penjaga bayinya memelihara keyakinannya, tentu hal ini tidak terjadi. Atau setidaknya ia mengecek dulu apa yang terjadi sebelum menjatuhkan hukuman.

Kisah di atas saya gubah dari salah satu cerita pada ceramah tarawih Ustadz Asep Zaenal Ausop yang beberapa hari lalu berceramah di Salman. Sebenarnya materinya cukup serius. Sedikit menyinggung peran media dalam pembentukan opini. Juga menyinggung-nyinggung masalah terorisme yang saat itu masih sedikit hangat. Tapi kisah ini yang paling saya ingat dan saya pikir bisa cukup menggambarkan keseluruhan ceramahnya.

Kalau kita pikir, kejadian di atas sering kali kita alami. Kita dengan mudah memvonis seseorang. Menurut saya sikap yang paling buruk adalah memvonis orang yang baru sekali kita temui. Misalnya menjudge orang itu hedon dari pakaiannya. Atau yang sedikit lebih serius, kita kadang mencap orang radikal dari celananya yang ngatung dan jenggotnya yang panjang. Penyakit ini namanya generalisasi. Memang bisa jadi ia merupakan bagian dari komunitas tertentu. Namun demikian kisah hidup mereka tidak sama satu sama lainnya.

Saya punya keyakinan bahwa satu-satunya yang boleh memvonis hanyalah hakim. Ia berhak memvonis karena ia telah melihat bukti-bukti dan mendengar saksi-saksi. Itupun bila ragu atau dalam keadaan marah maka ia tidak boleh menjatuhkan putusan. Lalu apa hak kita menilai seseorang yang yang hanya kita ketahui sedikit dari kisah hidupnya. Siapa tahu apa yang ia lakukan justru demi kebaikan kita hanya saja kita belum mengerti.

Yang tidak masuk akal adalah kita kadang bisa memutuskan hubungan dengan orang yang sudah lama kita percayai. Dan tiba-tiba percaya pada orang asing yang mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya. Tahanlah penilaian anda ketika anda selintas mengetahui sesuatu. Apa susahnya bertanya lebih dahulu bila ada suatu peristiwa yang terjadi. Dengarkanlah apa penjelasan yang ia punya. Batas antara kesalahpahaman dan saling pengertian adalah komunikasi.
http://irpanhakim.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

Profil

Foto saya
Jakarta, jakarta selatan, Indonesia
Remaja. Tinggal di Jakarta. Sedang berusaha menemukan jawaban dari "Siapa saya?". Mencintai binar mata kanak-kanak, langit senja, aroma tanah basah, gelembung sabun, cokelat panas, tertawa keras-keras, dan berpelukan. Tergila-gila pada blog, humor, dan segala jenis buku. Teman yang menyenangkan dan menyebalkan, tergantung suasana hati. Baginya, menulis adalah terapi sekaligus sarana pencarian jati diri. Jadi, jangan tertipu oleh tulisan. Sapa dia jika bertemu di jalan, karena dia akan menyapa balik. Tapi jangan coba-coba menginjak kakinya di dalam angkot, atau menghembuskan asap rokok tepat di mukanya.

Followers

Total Tayangan Halaman

Popular Posts