Selasa, 08 Mei 2018

Jakarta, 8 Mei 2018
Saat ini, saya masih menghikmati detik-detik Ibu berjuang untuk mengeluarkan tubuh mungil saya dari rahimnya.

Saat-saat bagi si jabang bayi untuk lahir, karena kandungan ibunya sudah tak lagi mampu menampung dirinya. Jabang bayi itu harus menjadi kandungan semesta.

Dan baru kali ini saya merasa sangat asing dengan diri sendiri. 3 tahun kontrak hidup yang dijatahkan akan saya lewati. Jika alhamdulillah dua hari yang lalu saya telah memperpanjang kontrak untuk seperempat abad kedua. Mungkin akan ada yang ketiga, keempat, dst. Mungkin juga malah kontrak kedua ini pun tak sampai ke batas waktunya. Kita tidak akan pernah tahu.

Terasa asing karena saya disuguhi tontonan yang pemain utamanya ternyata adalah diri saya sendiri dalam 3 tahun terakhir. Bagaimana jabang bayi yang diberi nama lengkap Abid Aqila Pranadja ini melakonkan panggung dramanya sendiri. Tanpa pemeran pengganti.


Abid kanak-kanak

Kamu itu bocah loro-lopo, le. Lahir saat hidup Ibu penuh kesulitan. Ibu tohpati hanya untuk melahirkan kamu. Usia kandungan Ibu baru 8 bulan, tekanan darah Ibu mencapai 200, Ibu kehilangan kekuatan untuk melahirkan, dan koma setelah itu. Kamu lahir cukup bulan dengan berat badan dibawah normal . Badanmu mungil dan rapuh, le. Harus dihangatkan dalam inkubator dengan banyak selang yang membantu pernafasanmu. Karena paru-parumu belum siap untuk itu.

Demikianlah dialog Ibu yang selalu terputar ulang saat saya mulai menyetel drama ini. Air terjun ingatan-ingatan saya sejak usia tiga tahun pun mengalir deras. Bagaimana ketakjuban pertama saya muncul saat melihat sedotan. Yap, sedotan. Alat bantu minum berbentuk tabung kecil memanjang itu saya temukan tergeletak di lantai rumah. Di mata kanak-kanak, barang-barang yang membiasa bagi orang dewasa adalah keajaiban tersendiri dalam semesta kecil mereka.

Tak lupa, keasyikan saya menatap seorang Iyut, simbah tetangga rumah yang sering nyirih atau nginang. Bahkan sekarang pun saya masih sering merindukan aromanya. Aroma kunyahan tembakau bercampur kapur sirih dan gambir yang dibungkus daun sirih. Menyisakan cipratan ludah Iyut berwarna merah di tanah dalam bilik rumahnya.

Saat mulai mampu memahami bahasa dan turut berkomunikasi, saya baru paham bahwa kata ‘mbejujak’ yang sering terdengar – dan memang diarahkan untuk saya – dikarenakan hobi saya memanjat pohon, menantang berkelahi anak laki-laki, hingga membuat anak tetangga masuk rumah sakit karena kepalanya harus dijahit. Satu-satunya pelarian saya dari pelabelan seperti itu adalah dengan menjadi anak yang berprestasi di sekolah. Tidak satu tahun pun terlewat tanpa gelar juara di saku sebagai buah tangan rayuan saya untuk orangtua.

Di luar itu semua, sebenarnya saya adalah boneka porselen yang rapuh. Sering sakit-sakitan. Ibu sering pula bercerita,“Le, sampai kamu berusia 2.5 tahun, ada saja penyakitmu. Hari ini panas, besok diare. Hari ini sembuh batuk-pilek, besok masuk rumah sakit karena demam berdarah. Kowe ki nyat ngentekke entut lan abab.”

Kamu tuh memang menghabiskan kentut dan napas…,” seringkali saya geli sekaligus miris mengingat itu. Betapa tersiksanya melalui tahapan hidup dengan tubuh yang hampir menyerah. Bahkan sampai membuat orangtua tidak punya apa-apa lagi demi membayai pengobatan saya. Usia boleh belia, namun tak henti-hentinya saya bertanya, “Kalo Allah sayang manusia, kenapa banyak anak kecil sakit kayak aku ya?”. Pertanyaan itu terus menggaung, dengan menatap infus di pergelangan, dan melihat penjenguk lain berlalu lalang. Yah, saya memang harus rela berbagi kamar, yang berbanding terbalik dengan ketenangan.

Abid remaja

Kemudian perhatian saya terpaku pada satu potongan film. Yaitu, pada episode singkat yang mengubah total cara pandang saya terhadap hidup. Saya tak menyangka, kejadian dan kesadaran sekecil apapun selalu dapat menjadi a tremendous trifle bagi perjalanan hidup seseorang. Saat itu kita seolah berada dalam sebuah terra incognita, sebuah daerah yang kita tidak mengetahui petanya. Yang kemudian terjadi adalah ‘ginonjing’.

Ginonjing adalah gending kesukaan RA Kartini dan adik-adiknya. Dari kata ‘gonjing‘ yang artinya goyah karena tidak seimbang. Sisipan ‘in’ menyatakan ketidaksengajaan. Sehingga, ginonjing berarti goyah tanpa tahu penyebabnya. Seperti pengalaman kehilangan gravitasi yang membuat orang tidak bisa lagi mengendalikan dirinya.

Mengapung tak bermakna di sebuah ruang hampa. Inilah kalimat paling presisi yang mampu mempresentasikan perasaan dan pikiran saya saat itu.

long roadSaya pun memberanikan diri untuk menyusuri gorong-gorong tinja sendiri. Betapa mengejutkan, ternyata kita secara tidak sadar senang menyimpan keusangan. Selalu saja mengenyangkan jiwa dengan peristiwa-peristiwa bersendawakan trauma. Memuakkan, bukan?

Dan sejak menyelesaikan hajat hari itu, saya mampu melangkah ringan. Saya kembali ke realitas dan mulai menjalani rutinitas.

Abid sekarang

Sayang, kelegaan yang saya teguk layaknya air minum bagi orang yang seharian berpuasa itu hanya bertahan sejenak. Lima bulan terakhir, sepuluh tahun kemudian, gending ginonjing serupa kembali ditabuhkan dan menyelimuti kesadaran saya dengan mendungnya.

Tiba-tiba saya kehilangan makna akan peran yang sedang saya mainkan. Padahal saya menari di atas panggung yang selama ini menjadi impian semua laki-laki. Saya tak lagi berselera untuk berharap dan diharapkan.

Ah, betapa mengerikannya hidup tanpa harapan. Hanya berupa pola gerak berkomposisi pengulangan. Saya merasa sangat bosan karena tak sedikit pun simpul makna diketemukan.

Serta merta, saya bagi keresahan tersebut pada seorang sahabat. Saya hanya melempar kutipan yang ditulis Dee di cerpen Tidur dalam Recto Verso ke dalam inbox e-mailnya:

Cakrawala tak berbatas, tanpa pembiasaan, bisa lebih mengerikan ketimbang sepetak langit yang dijatahkan setiap hari lewat rutinitas.”

Tak membutuhkan waktu lama, beliau segera membalas:

“Cakrawala atau kaki langit itu sendiri sebenarnya adalah sebuah garis imajiner lurus yang seolah-olah mempertemukan langit dan bumi. Garis itu muncul karena keterbatasan visual kita. Sama kasusnya dengan rel kereta api yang tampak menyatu di ujung pandangan. Jadi, kaki langit sendiri bisa berarti batas, yang lahir karena keterbatasan visual.

Yang menjadi kaki langit itu tampak tak berbatas dikarenakan saking amat luas batasnya, sehingga membuat diri kita menjadi amat kecil di ruangan amat besar. Atau kalau kaki langit dikaitkan dengan wawasan atau ilmu, batas itu sifatnya sangat elastis, sehingga seiring dengan wawasan atau ilmu seseorang yang membesar, batas itu akan turut membesar. Agar tetap bisa menampung ilmu yang juga telah membesar.

Jika bicara batas, maka pastilah ada yang dibatasi. Pada kasusmu ini, ketidakseimbangan muncul karena batas (yang seharusnya membatasi) berlaku statis atau tidak ikutan mengembang, padahal yang dibatasi sudah keburu melakukan proses mengembang. Ginonjing atau goyah karena tidak seimbang – yang lagi-lagi kamu rasakan – muncul karena adanya ketidakseimbangan pada saat terjadi proses mengembang.

Ginonjing itu, saya melihatnya sebagai proses, artinya sebagai respon dari adanya proses pengembangan. Karena sebagai proses, tentu saja itu bersifat aktif. Artinya, bahkan batas pun sebenarnya mengembang agar tetap bisa menampung apa yang dibatasinya.


woman-viewing-sunSeandainya batas tidak bisa lagi menampung apa yang dibatasi?

Itu berarti saatnya membikin batas baru yang bisa lebih responsif dalam menampung,

Itu berarti saat bagi yang dibatasi untuk berganti batasan,

Itu berarti saat bagi elektron untuk bereksitasi dan kemudian berpindah lintasan,

Dan begitu seseorang berkembang, sepetak langit yang dijatahkan setiap hari lewat rutinitas malah bisa menjadi sesuatu yang menggelisahkan.

Dari sini, gending ginonjingmu mulai ditabuh dan disuarakan, sampai semuanya hening kembali saat batas baru diciptakan,” tutupnya.

Abid saat ini, disini

Batas baru telah tercipta saat tiba-tiba saya teringat ucapan Ibu ketika meletakkan kompres ke dahi, “Berkali-kali mengiringi kamu antara hidup dan mati, Ibu cuma bisa memohon supaya kamu selamat, Le. Bisa hidup, memberikan banyak manfaat, dan menjalani hari tuamu kelak dalam kemuliaan.”

Lidah saya kelu.

Dan di sepanjang mata air bening yang mengalir di batin Ibu, saya larungkan harapan ini. Harapan agar selalu mampu berharap dan menjumputi hikmah yang terserak…

Abid Aqila Pranadja –

[Saya dedikasikan tulisan ini kepada seluruh taburan bintang yang mengisi semesta batin saya. Terutama kepada selarit bintang jatuh yang kembali membawa harapan saya tersungkur dalam pusaran pesona, pesona potret seorang anak sebagai pena dan bahtera untuk penerusnya]

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

Profil

Foto saya
Jakarta, jakarta selatan, Indonesia
Remaja. Tinggal di Jakarta. Sedang berusaha menemukan jawaban dari "Siapa saya?". Mencintai binar mata kanak-kanak, langit senja, aroma tanah basah, gelembung sabun, cokelat panas, tertawa keras-keras, dan berpelukan. Tergila-gila pada blog, humor, dan segala jenis buku. Teman yang menyenangkan dan menyebalkan, tergantung suasana hati. Baginya, menulis adalah terapi sekaligus sarana pencarian jati diri. Jadi, jangan tertipu oleh tulisan. Sapa dia jika bertemu di jalan, karena dia akan menyapa balik. Tapi jangan coba-coba menginjak kakinya di dalam angkot, atau menghembuskan asap rokok tepat di mukanya.

Followers

Total Tayangan Halaman

Popular Posts