Rabu, 31 Maret 2010

Celoteh, 31 maret 2010
Pengembaraan di jalan menuju cinta memerlukan bukan hanya pencapaian dan perwujudan pengetahuan pemersatu, melainkan juga keterbenaman di dalam cinta dan ketertarikan pada keindahan di tingkat tertingginya.Taman itu adalah taman kebenaran, sekaligus juga taman cinta, yang keindahannya melebihi dan melampaui semua yang dapat kita bayangkan atau telah kita alami sebagai sesuatu yang menyenangkan dan indah di bumi ini. Tukang kebunnya juga sang kekasih, yang tidak hanya harus diketahui, tetapi juga dicintai dan direnungkan dalam keindahannya yang tak berhingga, yang membakar penonton dan menggiring kepada ekstasi penyatuan serta kedamaian puncak. Laki-laki dan perempuan mengalami berbagai macam cinta dan menyaksikan banyak objek yang indah dalam kehidupan di dunia ini, tetapi kebanyakan tidak mencapai taman kebenaran melalui pengalaman seperti itu. Oleh karena itu kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah cinta dan keindahan dalam konteks Tasauf yang begitu menekankan pengetahuan prinsipal dan mencerahkan, sangat sering berbicara tentang cinta dan keindahan, yang saling terkait tanpa terpisahkan satu sama lain. Jalan menuju kebenaran menghasilkan penemuan kebenaran, yang berarti pengetahuan mengenai-Nya. Lebih jauh lagi, kebenaran itu sedemikian sehingga orang tidak dapat mengetahui-Nya tanpa mencintai-Nya. Dan cinta itu akhirnya mengantarkan ke dalam rengkuhan Allah, yang pada gilirannya mencintai orang-orang di antara hamba-hamba-Nya yang mencintai Dia. Akan tetapi, dalam pengertian metafisik, cinta Allah mendahulu cinta manusia,

Apa gunanya menulis tentang cinta? Orang harus mengalami cinta agar dapat memahami apa itu cinta, seperti dikatakan Rūmī, ketika harus menjelaskan hakikat cinta, pena patah dan tak kuasa menulis. Namun demikian, meskipun berhadapan dengan kata-kata dan konsep, menulis tentang cinta dapat membangkitkan kesadaran tertentu dalam pikiran dan jiwa pembaca, yang pada gilirannya dapat membuatnya siap untuk mengalami cinta pada beberapa tingkat. Tapi cinta itu sendiri tidak dapat direduksi ke dalam deskripsinya meskipun amat jelas dan puitis, sementara pada saat yang sama kata-kata yang berasal dari orang-orang yang benar-benar telah mencinta dapat menghadirkan ingatan dan membangkitkan di dalam diri sebagian orang cinta yang tersimpan di dalam jiwa semua manusia laki-laki dan perempuan. Api cinta dapat dinyalakan melalui kata-kata yang tepat jika substansi jiwa siap untuk terbakar dalam api cinta, yang tanpanya hidup yang menjadi kehilangan nilai, karena sekali lagi mengutip Rumi: “Barangsiapa tidak memiliki api ini, hendaklah ia tidak ada”.

Mari kita mulai dengan metafisika cinta. Cinta adalah sebagian dan sepenggal dari kenyataan. Cintalah yang menarik wujud kepada satu sama lain dan kepada sumber mereka. Cinta tak lain adalah api yang nyalanya menerangi dan yang panasnya menghidupkan hati dan menganugerahkan kehidupan. Ia juga badai yang dapat menjungkirbalikkan jiwa dan menumbangkan keberadaan yang biasa. Cinta adalah kehidupan tetapi bisa pula kematian. Ia mencakup kerinduan dan pedih keterpisahan serta gairah penyatuan. Cinta juga tak terpisahkan dari keberadaan dalam berbagai bentuknya, kecerahan cahaya ini berkaitan dengan pengetahuan dan kehangatannya dengan cinta.

Tidak ada ranah eksistensi tanpa cinta ada di dalamnya, kecuali jika dilihat dari sudut pandang tertentu pada tingkatan manusiawi. Sejauh menyangkut kosmos, cinta dapat dilihat di mana-mana andai saja kita sadar akan realitasnya. Cabang-cabang pohon tumbuh ke arah cahaya karena cinta, dan hewan-hewan menyayangi anak-anak mereka sebagai akibat dari cinta. Bahkan langit bergerak karena kekuatan cinta, yang kita reduksi menjadi sekadar fisika dan kuantitatif, dan kita sebut gravitasi.

Cinta mengalir di dalam nadi alam semesta, demikian pula rahmat, dan kita sebagai manusia dapat dan benar-benar mencinta, objek cinta kita mulai dari makhluk duniawi, terutama seseorang, hingga Allah itu sendiri. Keadaan cinta terendah dari sudut pandang ini adalah cinta ego atau cinta diri atau cinta untuk dirinya sendiri. Ini masih cinta, tetapi karena sifatnya memenjarakan objeknya, cinta itu melumpuhkan dan menghalangi pertumbuhan jiwa dan kemungkinan baginya untuk mencapai tingkatan cinta yang lebih tinggi. Kemudian ada cinta kepada yang lain, entah itu manusia, hewan, atau benda-benda seperti tanaman, mineral, dan juga artefak bikinan manusia, terutama karya-karya seni. Tetapi tingkat cinta ini masih terbatas dan berhingga serta dalam banyak kasus bersifat sementara. Sering kali ia menimbulkan keterikatan pada dunia sehingga menghalangi jiwa dari mengalami tingkat cinta yang lebih tinggi, yang secara paradoks juga melibatkan keterlepasan dari hal-hal yang bersifat keduniawian, Dari sudut pandang spiritual semua tingkatan yang disebutkan di atas bisa positif, dan masing-masing tingkat yang lebih rendah dapat mengantarkan ke tingkatan yang lebih tinggi alih-alih bersifat membatasi.

Cinta pada diri sendiri dapat membuka kesadaran tentang sifat ego yang mudah mengelabui dan cepat berlalu dari ingatan serta efeknya yang memenjara, mengarahkan seseorang kepada pencarian akan dirinya yang lebih tinggi. Cinta pada yang lain dapat mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan serta membantu jiwa untuk mencari cinta yang tidak pernah binasa. Cinta pada alam dapat menimbulkan rasa ingin tahu akan hikmat Allah dan cinta kepada Pencipta makhluk-makhluk yang menjadi objek kecintaan kita.

Adapun cinta pada objek-objek suci, teofani dan yang sejenisnya, hampir selalu mengantarkan kepada cinta kepada wujud yang merupakan sumber dari karunia dan keindahan yang hadir di dalamnya. Hierarki cinta dengan demikian dapat dipandang sebagai tangga pendakian menuju kerajaan langit dan sebagai deskripsi tentang keterbatasan dan pemenjaraan yang lebih besar atas jiwa saat seseorang saat ia turun ke tingkatan yang lebih rendah dari hierarki tersebut.

Seorang manusia dapat mengalami berbagai bentuk cinta. Kita bisa mencintai orang tua kita, anak-anak dan kerabat kita. Kita bisa mencintai kota, negara, dan budaya kita. Ada cinta pada alam dan seni. Ada cinta pada agama dan hal-hal yang suci, semua mengarah kepada cinta Tuhan. Semua bentuk cinta ini membawa seseorang keluar melampaui egonya, melakukan pengorbanan dan menderita, memberi dan memberi lagi. Juga semua bentuk cinta merupakan pertanda hasrat jiwa yang mendalam akan cinta murni yang bersifat ilahiah. Tetapi ada satu jenis cinta yang paling kuat pada tataran manusia dan tentu saja tidak dalam kaitannya dengan Tuhan—dan itu adalah cinta lelaki untuk perempuan atau cinta perempuan untuk laki-laki. Cinta konjugal dan romantis adalah ranah ujian bagi pertumbuhan jiwa secara emosional dan spiritual, dan ini terkait langsung dengan cinta dan pada akhirnya kesatuan antara jiwa dan Roh.

Cinta yang sejati dan otentik dalam pengertian romantis, dan bukan ketertarikan seksual semata, merupakan sebentuk rahmat dan karunia dari Langit. Ia menghunjam ke dalam jiwa kita seperti badai yang kuat, menumbangkan keterikatan dan kebiasaan kita yang lama. Mencabut akar-akar jiwa kita dari ranah kepuasan diri dan egoisme. Menyebabkan sukacita sekaligus derita, kegairahan serta kerinduan. Melepaskan jiwa dari semua pertalian dengan yang lain dan mengikatkannya pada objek kecintaannya, bahkan mengatasi pikiran yang terserak-serak dan memusatkannya pada satu objek itu saja.

Sifat kemutlakan cinta kepada Allah tercermin dalam cinta manusia yang seperti itu, yang memerlukan peluruhan seluruh sikap mementingkan diri sendiri dan memberi tanpa batas. Cinta seperti itu, jika otentik, tidak akan berkurang tatkala yang dicintai menjadi kurang cantik secara lahiriah dan kehilangan daya tarik lahiriahnya, sebab objek dari cinta itu adalah sosoknya dan bukan atributnya, yang mungkin menyenangkan hati pecintanya pada satu momen dan tidak demikian pada momen lainnya. Itulah sebabnya cinta romantis yang otentik bertumbuh bukannya berkurang sering berjalannya waktu. Dimensi seksual dari cinta itu sendiri penuh dengan signifikansi spiritual. Kesatuan seksual adalah cerminan duniawi atas prototipe surgawi. Laki-laki mengalami yang tak terbatas dan perempuan mengalami yang mutlak di dalam kesatuan duniawi ini, yang mengembalikan, meski untuk sejenak, manusia ke dalam keutuhan androginik. Kebahagiaan kesatuan seksual juga merupakan pendahuluan dari kebahagiaan kesatuan jiwa dengan roh.

Ada begitu banyak dongeng dalam Tasauf , dan mungkin yang paling terkenal adalah kisah Laylā dan Majnūn. Cerita aslinya, yang memiliki banyak versi yang lebih baru, sederhana saja. Seorang pemuda arab badui bernama qays bertemu laylā dalam perkumpulan para wanita. Pertemuan ini berbekas begitu mendalam padanya. Ia jatuh cinta dengannya dan mengorbankan untanya untuk pesta itu. Ketika seorang lelaki bernama manāzil datang ke pertemuan itu, perhatian semua perempuan kecuali Laylā terarah kepadanya, yang membalas cinta qays kepadanya. Qays kemudian meminta dia dari tangan ayahnya, tetapi ayahnya menolak, mengatakan bahwa gadis itu telah bertunangan dengan orang lain. Dalam derita dan kesedihan mendalam, Qays kehilangan akal dan pikiran lalu mengembara di padang gurun setengah telanjang, hidup bersama binatang liar. Julukan Majnūn, yang berarti tergila-gila atau gila, yang kemudian disematkan untuknya, muncul akibat perilaku ini. Ayah Qays membawa berziarah ke Makkah dengan harapan bahwa ia akan sembuh, tapi pengalaman ini hanya kian menguatkan cintanya pada Laylā. Ketika sadar, Majnūn menggubah beberapa puisi mengungkapkan cintanya kepada Laylā, tetapi ia hanya bertemu dengannya satu kali lagi sebelum kematiannya.

Keindahan dan cinta adalah dua aspek dari kenyataan yang sama jika dilihat dari sudut pandang tertentu, yang satu memiliki sifat aktif dan yang lainnya pasif. Yang satu seperti api yang membakar sedangkan yang lainnya sebuah danau tenang dan tak terganggu, walaupun ada dimensi ketenangan dalam cinta setelah direalisasi dan keindahan juga dapat dilihat dalam petir dan kilat. Ada komplementaritas di dalam komplementaritas yang pertama, yaitu sebuah elemen pasif di dalam sifat cinta yang aktif dan elemen aktif di dalam sifat keindahan yang pasif. Kita bahkan dapat dengan mudah menerapkan doktrin timur Jauh tentang komplementaritas dari yin dan yang serta kehadiran yin di dalam yang dan yang di dalam yin pada hubungan mendasar antara cinta dan keindahan ini. Singkatnya, keduanya tak terpisahkan pada tingkat tertentu, karena bagaimana mungkin orang tidak mencintai apa yang indah dan bagaimana mungkin sesuatu yang kita cintai tidak akan tampak indah pada tingkat tertentu ( dan bukan hanya pada bentuk lahiriah dan tampilan luarnya )?.

Seperti halnya wujud, keindahan adalah kenyataan universal yang tidak dapat dibatasi, dan definisi logis tidak merangkum semua kenyataannya. Kita dapat menunjuk kepadanya dalam kontras dengan kejelekan, namun itu tidak mencukupi karena pada intisarinya keindahan melampaui dualisme, termasuk dualisme biasa keindahan dan kejelekan, yang kita alami melalui indera kita. Akan tetapi, sebagian guru bijak selama berabad-abad telah berusaha untuk mendefinisikan keindahan. Salah satu yang paling termasyhur adalah Plato, yang mengatakan, “Keindahan adalah kecemerlangan Kebenaran.”Ketika yang Satu mewujudkan yang banyak pada berbagai tingkatan eksistensi kosmik, Keindahan mutlak ini juga mewujud bersamaan dengan eksistensi, di mana ia seperti aura di sekitar matahari. Apa yang tampak jelek oleh kita muncul dari non-eksistensi yang menampakkan diri sebagai eksistensi. Karena eksistensi itu sendiri memancar dari yang Nyata, yang auranya adalah keindahan, yang muncul sebagai kejelekan merupakan akibat tiadanya cahaya wujud dan bayangan yang terbentuk sebagai akibat jauhnya jarak dari sumber cahaya ini.

Keindahan adalah bagian dari realitas objektif setiap wujud. Ia tidak tergantung pada penontonnya kecuali hingga sejauh mana setiap penonton itu mempersepsi keindahan sesuai partikularitas jiwanya dan hingga sejauh mana jiwanya indah dan mampu mengapresiasi keindahan. Tetapi itu tidak berarti bahwa keindahan semata-mata berdasarkan pada penilaian subjektif kita, sebagaimana ketidaktahuan kita tentang struktur geologi sebuah gunung karena kurangnya pengetahuan kita tidak membuat struktur itu menjadi subjektif. Ya, kita harus melatih mata dan telinga kita untuk melihat dan mendengar keindahan, dan itu hanya dapat dilakukan, dalam peristilahan spiritual, jika jiwa telah terlatih dan dibiasakan dan dibuat indah melalui perolehan kebaikan.

Akan tetapi, pelatihan ini bukan satu-satunya syarat sejauh menyangkut apresiasi pada manifestasi keindahan universal. Tentu saja juga diperlukan penguasaan bahasa formal yang digunakan untuk mewujudkan jenis keindahan tertentu. Bagaimanakah keindahan yang didambakan jiwa ini dirasakan dan dialami? Karena keindahan bersemayam di kedalaman jiwa, dan pada saat yang sama jiwa pun mendambakannya, Semua indera lahiriah kita dapat merasakan keindahan terutama fakultas penglihatan dan pendengaran.

Bahkan, kerap kali ketika kita merujuk pada keindahan, keindahan yang terdengar atau terlihatlah yang ada dalam pikiran kita. Tetapi fakultas batiniah dari jiwa kita juga dapat mempersepsi citra-citra keindahan yang tersembunyi dari mata lahiriah kita. Fakultas imaginal dapat mempersepsi citra-citra yang indah. Pikiran dapat melihat keindahan bentuk-bentuk matematis dalam dunia matematika murni terlepas dari alam material. Ia juga dapat memahami harmoni, yang tak dapat dipisahkan dari keindahan. Akal yang bersinar di dalam diri kita dapat merenungkan yang dapat dipahami secara murni dan alam malakuti. Adapun hati, ketika matanya dibuka, ia dapat melihat Keindahan wajah sang Kekasih itu sendiri. Melalui cara apa pun kesadaran kita berhubungan dan menjadi sadar akan realitas objektif, ada kemungkinan untuk mengalami keindahan, sebuah kualitas yang menjalari semua tingkatan dan modus keberadaan.

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

Profil

Foto saya
Jakarta, jakarta selatan, Indonesia
Remaja. Tinggal di Jakarta. Sedang berusaha menemukan jawaban dari "Siapa saya?". Mencintai binar mata kanak-kanak, langit senja, aroma tanah basah, gelembung sabun, cokelat panas, tertawa keras-keras, dan berpelukan. Tergila-gila pada blog, humor, dan segala jenis buku. Teman yang menyenangkan dan menyebalkan, tergantung suasana hati. Baginya, menulis adalah terapi sekaligus sarana pencarian jati diri. Jadi, jangan tertipu oleh tulisan. Sapa dia jika bertemu di jalan, karena dia akan menyapa balik. Tapi jangan coba-coba menginjak kakinya di dalam angkot, atau menghembuskan asap rokok tepat di mukanya.

Followers

Total Tayangan Halaman

Popular Posts