Sabtu, 30 Januari 2010


Renungan, 4 Januari 2010

Dengan nafas satu-satu, dengan detakan jantung satu-satu, dan ketukan jari-jari tangan satu-satu kedagu.

Nafas satu-satu menghirup udara, dan udara itu ada meski terlihat seperti tak ada. Namun saya merasakan kehampaan. Bukan kehampaan didalam paru-paru, tetapi kehampaan didalam jiwa. Sudah sejauh mana saya melangkah maju, sudah sejauh mana saya berpijak, kini ternyata masih belum sesuai dengan apa yang saya angan-angankan dahulu. Kesia-siaan masih saja sering saya lakukan. Sungguh awal tahun yang diliputi penyesalan. Penyesalan selalu datang di akhir, dan akhir selalu menjadi sebuah awal yang baru. Tahun ini harus menjadi awal baru, awal segala macam kebaikan tentunya. Dan yang saya inginkan pula menjadi suatu akhir dari berbagai macam keburukan didalam diri ini. Walaupun secara idealnya itu tidak akan pernah dapat terjadi, mengingat saya adalah seorang manusia biasa. Manusia itu tempatnya salah dan lupa.

Malam ini renungan kembali menelusup jauh-jauh kedalam pikiran bodoh ini, dan kecerdasan didalamnya membuyar. Itu dapat saya rasakan karena saya merasa menjadi orang yang bodoh. Merasa bodoh artinya adalah sekarang telah menjadi lebih pintar daripada yang lalu. Menyadari akan kebodohan diri, berarti mengetahui suatu pengetahuan yang baru. Dengan kata lain dengan merasa bodoh saya telah menjadi pintar. Ya, menjadi pintar setidaknya untuk saat ini apabila dibandingkan dengan saat yang telah lalu. Maka sebelumnya dengan jujur saya mengatakan kepada kalian, saya bukanlah seseorang yang cerdas. Uh, walaupun dari buku tentang Kecerdasan Buatan suatu mesin komputer yang saya dapat pahami, ternyata pengertian dan devinisi suatu kecerdasan itu secara filosofis berada jauh kedalam, kepelosok pikiran dan sulit terdevinisikan sehingga sebenarnya pengertian tentang devinisi kecerdasan itu merupakan sesuatu yang bias, akan tergantung dari sudut filosofis mana kita memandangnya. Beruntung Alan Turing pada tahun 1950 mengajukan pengujian yang dinamakan Uji Turing yang akhirnya dapat mengevaluasi perilaku kecerdasan sebuah mesin.

Dan mohon maaf, karena tampaknya saya sudah terlalu jauh berbicara tentang ilmu komputer sehingga membuat tulisan ini kurang nyaman untuk dapat dinikmati oleh setiap kalangan. Mohon dimaafkan apabila membuat tulisan ini semakin menjadi bertambah rumit.

Setiap aliran waktu yang telah terlewati tak akan pernah diulang kembali, sama seperti energi dari hasil pemecahan karbohidrat, lemak dan protein dari pencernaan yang berbaur dengan oksigen dari pernafasan, yang kesemuanya itu mengalir pula keseluruh aliran darah. Energi itu terpakai dan mengalir, sampai akhirnya satu-satunya alasan untuk berhenti mengalir adalah karena kematian. Mungkin pada saat kematian itu kehidupan ini telah berakhir, namun seperti yang saya katakan diawal, akhir itu selalu menjadi sebuah awal yang baru. Sayangnya kita seringkali lupa dengan energi yang mengalir didalam tubuh kita, kita juga lupa akan waktu yang terus mengalir dan terus mengalir.

Ini adalah nyata, baru saja saya membaca sebuah artikel yang membahas tentang lampu dengan tenaga darah manusia yang ditemukan oleh Mike Thomspon. Cara kerjanya adalah dengan menggunakan Luminol, yakni senyawa kimia yang digunakan ilmu forensik untuk mendeteksi keberadaan darah pada Tempat kejadian perkara (TKP). Luminol bereaksi dengan besi (ferum) pada sel darah merah dan membuat terang berwarna biru. Untuk membuat lampu menyala kita harus meneteskan darah terlebih dahulu. Lampu seperti itu disamping hanya dapat digunakan sekali saja, juga kita akan berfikir dua kali untuk menyalakan lampu tersebut. Siapasih yang rela menghambur-hamburkan darahnya untuk menyalakan sebuah lampu?.

Kisah lampu berbahan bakar darah manusia itu menjadi bahan renungan tentang sebuah persepsi energi didalam aliran darah manusia. Asal-usul energi yang menunjang kehidupan ini adalah sesuatu yang sangat mahal. Ini seharusnya membuat saya berfikir ulang bahwa betapa berharganya energi itu, bahwa seringkali terjadi pemborosan energi didalam kehidupan ini. Energi akan dikatakan menjadi boros apabila tidak digunakan secara efisien. Apa yang telah saya lakukan selama ini, hal-hal apa saja yang saya isi didalam kehidupan kebanyakan adalah suatu pemborosan energi. Saya sangat menyesali semua itu, saya telah lupa bahwa semua itu akan dipertanggung jawabkan kelak. Sejauh mana pencapaian suatu kesuksesan yang saya lakukan tidak seimbang dengan energi yang telah saya habiskan :( .

Wahai Tuhan, dengan renungan ini semoga saya dan para pembaca tulisan ini bisa menjadi makhluk yang sadar akan berharganya setiap kedipan dan gerakan, mensyukuri setiap anugrah yang Engkau berikan didalam kehidupan ini. Jadikan kami makhluk yang Selalu berusaha untuk mengefisienkan setiap energi dan waktu yang engkau berikan menjadi konversi amal kebaikan dan jalan yang diridhoiMu. Selalu sadarkan kami Tuhan, bahwa terlalu banyak kelakuan yang menjauh dari rasa syukur terhadapMu. Maka jauhkan kami dari semua keburukan dan dekatkanlah kami ditahun ini, dekatkan kami disaat yang akan datang, dekatkan kedalam naungan curahan kebaikan. Dan Banyak kebaikan. Sungguh saya berharap, Sungguh, Dan sungguh.

Semoga

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

Profil

Foto saya
Jakarta, jakarta selatan, Indonesia
Remaja. Tinggal di Jakarta. Sedang berusaha menemukan jawaban dari "Siapa saya?". Mencintai binar mata kanak-kanak, langit senja, aroma tanah basah, gelembung sabun, cokelat panas, tertawa keras-keras, dan berpelukan. Tergila-gila pada blog, humor, dan segala jenis buku. Teman yang menyenangkan dan menyebalkan, tergantung suasana hati. Baginya, menulis adalah terapi sekaligus sarana pencarian jati diri. Jadi, jangan tertipu oleh tulisan. Sapa dia jika bertemu di jalan, karena dia akan menyapa balik. Tapi jangan coba-coba menginjak kakinya di dalam angkot, atau menghembuskan asap rokok tepat di mukanya.

Followers

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

Blog Archive