Senin, 04 Januari 2010


Dalam beberapa bulan terakhir, saya menyaksikan presentasi beberapa “Management Trainees” di beberapa perusahaan. Saya melihat ada trainees yang begitu cepat “masuk” dalam dunia kerja, langsung “berkeringat” dan tahu caranya menghadapi “dirty work”. Namun, ada juga yang ‘berat langkah’-nya, terlalu kaku membawa pengetahuan teoritis dari bangku kuliah. Ada pula yang mulai menganalisis tetapi belum benar-benar “berenang” di dunia kerja.

Banyak sekali perusahaan yang sadar perlunya berinvestasi besar untuk mendapatkan tenaga-tenaga yang mumpuni dari luar perusahaan. Namun, banyak perusahaan tidak mempersiapkan ‘landasan’ lewat “induction program” yang mantap, sehingga banyak karyawan baru merasa “dibiarkan”. ”Saya jenuh dan bingung karena sepanjang hari dalam seminggu cuma disuruh membaca katalog”. Atau komentar karyawan baru lainnya, ”Memang ada orientasi berupa pengarahan dari pucuk pimpinan perusahaan yang membuat kami bersemangat dan terinspirasi. Tetapi, ketika menghadapi pekerjaan, banyak sekali hal yang tidak saya ketahui. Walaupun bersikap ramah, semua orang sibuk, dan saya merasa takut mengganggu bila saya bertanya”.

Sebuah hasil penelitian terhadap fresh graduate beberapa perusahaan mulitnasional mengatakan bahwa hanya sekitar 20% dari para fresh graduate yang “dicemplungkan” tanpa bimbingan dapat bekerja dan berkinerja sesuai harapan perusahaan. Sejumlah 30% lainnya butuh waktu lebih lama untuk beradaptasi, sedang 50% sisanya akan jadi karyawan yang tidak berkinerja optimal, setidaknya satu tahun atau bahkan selamanya. Bayangkan kerugian yang diderita perusahaan bila ternyata para karyawan baru ini kemudian mencari peluang lain, hanya karena menemui jalan buntu dalam beradaptasi di pekerjaan. Segagal-gagalnya program orientasi, masih lebih baik program orientasi diadakan, daripada tidak sama sekali.


‘Ilmu’ yang Tidak Didapat di Bangku Kuliah

Saya teringat saat-saat pertama kali memasuki dunia kerja, bahkan langsung bekerja sebagai manajer di sebuah bank. Sistem dan prosedur, proses bisnis, etik, ‘unggah-ungguh’, efisiensi, cara berkomunikasi, sampai praktik-praktik yang tampak sederhana seperti “filing” , penomoran surat, standar kinerja, ternyata adalah hal “kantoran” yang benar-benar baru bagi saya. Rahasia budaya kerja seperti “jangan anda yang berjalan, biarkan dokumennya berjalan sendiri (dibawa office –boy)” atau pengamalan “clean desk policy” sulit dibayangkan dari bangku kuliah. Untung saja sekretaris, bawahan, teman kerja, atasan kebetulan rela mau memberi pengarahan.


Kalau memang demikian penting, mengapa banyak perusahaan menyepelekan “induction program” ini? Selain biaya dan enerji, ada juga perusahaan yang beranggapan bahwa beradaptasi adalah kompetensi setiap manusia normal, ”Ah, tidak ada yang membimbing saya ketika pertama masuk kerja, buktinya ‘survive-survive’ juga...” Atau, ”Kalau kita mesti memberi pendidikan juga, apa dong yang mereka pelajari di perguruan tinggi?” Padahal, inilah yang melatarbelakangi perlunya dilaksanakannya “induction program”. Perguruan tinggi mana yang mengajari bagaimana layaknya menyampaikan “copy” memo intern? Atau kapan kita perlu menyampaikan “blindcopy” saat mengemail dan kapan “copy”. Bagaimana seorang karyawan segera tahu trik-trik memuaskan rasa lapar diluar jam makan, sementara ia dilarang membawa makanan di meja kerjanya? Apa yang boleh saya fotokopi dan apa yang tidak boleh? Ternyata pengajaran yang seolah sederhana mengenai "How to" dan "Where to go" dalam menghadapi tugas bisa efektif untuk masa kerja selanjutnya dan membuat karyawan bisa lebih segera meng-‘enjoy’ pekerjaan dan lingkungan kerja barunya.

Kancah Menemukan ‘Selera’ Bekerja


Agar cepat dapat menjadi bagian dari perusahaan, mewakili bahkan mengambil keputusan demi kepentingan perusahaan, individu perlu tahu persis mengenai organisasi, sejarah, aspirasi, pelanggan, kebiasaan, dan apa yang diharapkan perusahaan dari dirinya. Karyawan baru perlu tahu betul apa yang dinamakan sukses atau gagal oleh perusahaan, do’s dan don’t’s, dan kapan bisa berkata “ya” atau “tidak”, beserta alasan yang tepat sesuai kebijakan perusahan. Tuntutan perusahaan, terutama di organisasi komersial yang selalu mengacu pada laba perusahaan melalui budaya tertentu, juga perlu dijadikan “mindset” yang mendasari perilaku para fresh graduate. Nilai-nilai sederhana seperti “Di sini berlaku quick response, tidak ada orang berjalan di tangga...semua orang lari” “Pelanggan harus keluar dari kantor kita dengan tersenyum”, akan berpengaruh pada etos kerja individu dan akan dibawa pada perilaku bekerjanya di masa mendatang.

Hal seperti kegiatan administratif dan operasional sangat mudah dinilai dan dipahami, tetapi tidak mudah dilakukan dengan cermat, tepat dan konsisten. Seorang fresh graduate, perlu mencapai taraf “penghayatan” kerja untuk bisa dilepas bekerja sendiri. Individu juga perlu diperkenalkan dengan beban kerja, baik yang normal maupun yang berat. Teman saya, seorang direktur pengembangan SDM di sebuah perusahaan, selalu mengingatkan para “management trainee”-nya, ”Anda akan saya bebani pekerjaan yang paling berat dan kotor. Bila Anda melewati masa ini, maka pekerjaan akan terasa mudah karena Anda sudah menemukan ”selera” bekerja untuk seterusnya”.


Peran Aktif Dua Belah Pihak


Dalam dunia kerja yang kompetitif ini, individu yang akan memasuki dunia kerja, tetap perlu sadar bahwa ia harus mengerjakan pe-ernya dengan cepat dan tangguh. Tidak sekedar menunggu untuk dibimbing atau diarahkan. Ia perlu cepat menyerap dasar-dasar manajemen kerja yang ditunjang oleh manajemen dirinya sendiri, komunikasi formal & informal, etik dan cara bekerja tim. Individu perlu mengembangkan kebiasaan mengatur hidupnya dengan agenda, melakukan tindak lanjut tanpa ditagih, melapor tanpa merasakan keharusan, berpartisipasi aktif dalam rapat-rapat, dan banyak ketrampilan kantoran lain. Selain itu masih ada ketrampilan dasar lain seperti mengembangkan rasa percaya, membina hubungan pertemanan, dan penajaman “common sense” serta sistematika berpikirnya. Proses integrasi antara individu dan perusahaan ini perlu dimotori oleh kedua belah pihak secara aktif, sebagaimana halnya dua orang yang menjalin ikatan perkawinan.

Sumber : http://tobeimpact.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

Profil

Foto saya
Jakarta, jakarta selatan, Indonesia
Remaja. Tinggal di Jakarta. Sedang berusaha menemukan jawaban dari "Siapa saya?". Mencintai binar mata kanak-kanak, langit senja, aroma tanah basah, gelembung sabun, cokelat panas, tertawa keras-keras, dan berpelukan. Tergila-gila pada blog, humor, dan segala jenis buku. Teman yang menyenangkan dan menyebalkan, tergantung suasana hati. Baginya, menulis adalah terapi sekaligus sarana pencarian jati diri. Jadi, jangan tertipu oleh tulisan. Sapa dia jika bertemu di jalan, karena dia akan menyapa balik. Tapi jangan coba-coba menginjak kakinya di dalam angkot, atau menghembuskan asap rokok tepat di mukanya.

Followers

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

Blog Archive