Minggu, 14 Februari 2010

Curahan Hati, 6 februari 2010

Membayangkan seraut wajah yang tak nyata itu membuatku ingin melakukan sesuatu pada khayal itu. Kubayangkan kamu terbawa angin yang tak keras namun lembut, seperti yang biasa menerbangkan nyiur – nyiur di pantai. Dan kamu akan melayang perlahan dari singgasana yang tak nyamanmu itu menuju tempat yang berhingga namun aku tahu kamu akan bahagia walaupun hanya merupakan sebuah tempat yang mungkin tak kan pernah ada yang abadi di dalamnya, kecuali cinta.

Ya, cinta… aku tahu cuma itu yang kamu harap dari tempat yang bukan tidak berhingga, dan aku tahu akulah yang ada di dalam kulitnya. Meringkuk tak nyaman karena dibahanakan oleh kerinduan yang nyata walaupun hanya dalam pikiran yang tak pernah nampak dan tak pernah terucap. Menjalani perkelanaan di kulit itu tanpa pernah keluar menembus belulang dan urat – urat yang bergelimpangan. Namun aku tersiksa dan aku merasa terpaksa. Kuberjalan dan berkelana dalam kulit itu dengan seluruh penderitaanku. Kulit itu tak sesuai dengan cita dan anganku sebenarnya, dan hanya dalam kulit itu aku tak pernah keluar dan tersiksa di dalamnya, dan tersiksa oleh kata rindu hanya untukmu.

Aku rindu dan benar – benar rindu, jikalau kamu punya waktu beberapa hari seperti dulu dan mampu terbang dan tinggal menuju kulit di mana aku tinggal dengan tak nyaman namun berusaha aku nyaman – nyamankan, aku akan menyatakan aku akan bahagia dengan senyata – nyatanya. Senyata kamu yang mengucapkan kata cinta padaku, walaupun tanpa bisa bertatap wajah, dan hanya bisa merasakan kesepian dan kesenduan belaka. Namun aku percaya aku dan kamu, satu, cinta.

Tak tahu mengapa ada sesorang yang namanya pun aku tak ingat dan aku tak pernah tahu wajahnya mengatakan kita akan abadi dan dikenang, dipuja oleh kebanyakan orang yang tergila – gila akan cinta, dan kita akan menjadi contoh bagi mereka yang gila. Aku sebenarnya tak begitu percaya. Aku hanya percaya hanya Romeo dan Julietlah yang mampu mempertahankan cinta yang agung di antara mereka walaupun nasib kematianlah yang ternyata mengakhiri jawaban cinta mereka. Atau Layla dan Qays, dua pendahulu cinta yang karena sebegitu hebatnya cinta mereka berdua, hingga Qays rela menjadi si gila dan ikhlas saat orang – orang mengatakan ia adalah Majnun (gila) karena mencari Layla, tetapi ia adalah Majnun yang beruntung karena ia sempat bertemu dengan Layla. Walaupun sekali lagi, mereka tak pernah bisa bersatu.

Tak pernah bersatu? Apakah itu jawaban dari sebuah cinta? Lalu kenapa kamu dan aku merasakannya, kalau akhirnya kita terpisahkan nantinya? Dan apa guna aku terus – menerus meringkuk di kulitku ini tanpa pernah keluar, tersiksa berkepanjangan karena merindukanmu dalam nerakaku. Jika aku ingin melihat surga buatanku, aku akan mengunjungi kamu di singgasanamu, keluar dari kulitku lalu menatapmu lama dan lama sekali hingga sedikit terpuaskan. Lalu kamu akan mencium lembut kerinduanku yang terpecah, membahana perlahan dalam hangatnya pelukan. Lalu kita akan merasa bahagia tanpa ujung. Tertawa dalam kehangatan yang masing – masing dari kita perlihatkan. Tak peduli masalah dan tak peduli akan beban yang mengintai dan memasang alarm pengingat masing – masing untuk kita.

Namun tanpa kita sadari kesedihan akan menjemput akhirnya. Dan kita akan berpisah menuju tempat kita terlelap masing – masing. Dan aku akan melambaikan tangan pada segala kenanganku hari itu. Kamu dan semua yang telah kamu lakukan. Dan akhirnya aku akan pulang pada kulit tempatku meringkuk tak nyaman dan berharap ringkukan tak nyamanku itu akan sesegera mungkin usai, walaupun aku tahu itu benar – benar sulit.

***

Aku teringat saat singgasanamu tak lagi aman. Seseorang yang kusebut sebagai orang tak beradab itu menghampiri singgasanamu. Merebut erat kebahagiaan kita selama ini yang hanya setengah. Orang tak beradab itu mengeluarkan segala tak keberadabannya seberani mungkin dengan alasan ia mencintai yang aku cintai. Aku geram namun tak mampu marah, atau lebih tepatnya tak tahu bagaimana cara untuk marah padanya. Lalu aku hanya menangis karena kenyataan yang terjadi bahwa kamu, orang yang aku cintai tak lagi nyaman berada di singgasanamu, singgasanamu seakan menyerangmu dan bersiap penuh untuk menghujamku. Aku jelas – jelas sedih sedemikian dalam.

Kusumpah – sumpah orang tak beradab itu akan tetapi aku tahu kepercumaan tindakanku itu. Aku hanya bisa diam dan hanya bisa percaya bahwa aku akan menang. Aku terus menerus mengingat kata – kata seseorang yang tak pernah aku ingat itu, kami akan abadi dan dikenang. Dan semua itu tak akan terjadi tanpa suatu pertahanan yang besar atas cinta. Ah, cinta… apakah kamu masih berharga saat ini, melihat segala kenyataan yang telah terjadi dan terus menerus mengujimu?

Kita bertahan dalam ujian terberat itu dan segala ujian yang pernah ada. Dan aku mulai tak nyaman sekali tinggal dalam kulitku, ingin kutinggalkan jauh kulitku ini hingga ruhku dapat terbang bebas dan memelukmu dalam terpaan angin yang meniup lembut rambutmu yang lurus itu, lalu aku akan memulai percintaanku yang tenang dan damai padamu dan tak perlu kita dapatkan kedamaian itu di pinggir pantai, tetapi hanya di ruang waktu yang berjarak ini. Akan tetapi apakah masih ada percintaan yang tenang dan damai saat ini? Entah. Tapi yang aku tahu beratus suami memohon – mohon pada istrinya lewat lisan yang merayu – rayu agar mau untuk dibagi kasihnya dengan perempuan lain, beratus orang pula, baik laki maupun wanita, tak puas dengan satu pasangannya, dan dengan seenaknya ia jadikan selingkuh sebagai kebanggan. Edan.

Walaupun aku tahu kita pasti sering tergoda dan tergeser sedikit akan masalah dan ujian yang tak sedikit dan tak ringan. Aku masih bersyukur aku masih merindukanmu. Karena lewat merindukanmu, berarti aku masih mencoba mengingatmu dan segala tentangmu. Mencoba membiarkanmu memelukku dan mendekat mengelus wajah dan rambutku dengan semua cintamu, walaupun hanya dalam bayangan saat aku meringkuk dalam kulitku yang tak nyaman.

Ternyata rindu itu sebegitu hebat, dengan mudahnya ia memupuskan perasaan kesal karena segala yang tak kan pernah nyata, wajah tak nyata, belaian tak nyata, ungkapan cinta tak nyata, suara tak nyata, namun rindu itu meyakinkan bahwa tak usahlah berpikir akan segala yang tak nyata, karena cinta ada dan nyata, walau tak pernah tersembur ke luar permukaan kulit, hanya mampu mengendap dalam suatu tempat di dalam kulit dan otot, daging, tulang yang kita tak tahu pasti di mana, namun bersyukurlah bagi kita yang pernah merasakan dan mampu memperjuangkannya. Walaupun akhirnya berujung kelabu.

Sehingga aku akan terus merindukanmu dalam ringkukan tak berujungku di kulit yang tak nyaman ini, karena aku tahu dengan begitu aku akan memperjuangkanmu atas segala cinta yang mengendap di suatu tempat di dalam kulit dan otot, daging, tulang yang kita tak tahu pasti di mana, juga tak pernah bernama, bahkan Tuhan pun tak memberikan nama pada tempat itu. Aku akan terus begitu walaupun aku kan terus tak pernah mengerti bagaimana akhir semuanya. Walaupun aku tak pernah tahu apakah kamu juga terus merindukanku dalam singgasanamu yang tak pernah kusentuh lagi lewat nyata, dan hanya kusentuh lewat ketikan kata yang telah kamu tulis sedemikian mungkin.

sumber gambar : http://nanbija.files.wordpress.com


Curahan Hati, 4 Februari 2010

Aku bukanlah seekor burung

Dengan kedua sayapku

Aku bisa langsung melesat ke angkasa luas

Tanpa aku merasa takut akan terjatuh

Aku bukanlah seekor burung

Yang bisa terbang melintasi dunia

Sejauh yang aku inginkan

Kemanapun aku pergi

Aku bukanlah seekor burung

Yang bebas bertengger dimana saja

Dan pergi kapan saja Sesuka hatiku

Aku bukanlah seekor burung

Yang punya suara indah

Yang bisa bernyanyi merdu Atau pun punyai bulu bulu cantik warna warni

Namun… Aku tak perlu menjadi seekor burung

Untuk aku bisa mencapai langit yang tinggi

Bahkan ‘tuk sekedar memetik bintang bintang yang menghiasinya

Aku tak perlu menjadi seekor burung

Untuk ku bisa menjelajah dunia ini

Karena aku punya dunia sendiri

Yang setiap saat bisa aku arungi dengan mudahnya

Aku juga tak perlu menjadi seekor burung

Yang harus bisa bernyanyi dengan indah

Dan berhiaskan bulu bulu cantik Karena aku sendiri merasa begitu sempurna tanpa itu semua

Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri

Karena yang aku miliki adalah sebuah dunia,

dan menjadi duniaku

Karena yang aku miliki adalah sebuah kelebihan dan menjadi kelebihanku

Karena yang aku miliki adalah sebuah kecantikan,

dan menjadi kecantikanku

Karena yang aku miliki adalah sebuah rahasia, dan menjadi rahasiaku

Karena yang aku miliki adalah sebuah surga, dan menjadi surgaku

Dan aku bisa apa saja dengan semua yang kumiliki

Hanya amanah untuk dijaga

Karena pasti semua akan kembali pada Sang Maha Memiliki

Curahan Hati, 4 Februari 2010

Mentari pagi membangunkanku yang tertidur pulas di balik selimut tebal. Kelembutan sinarnya memancar hingga sudut kamar tidurku. Hawa dingin mulai merasuk ke dalam tulang-tulang rusukku. Tubuhku terasa kaku semua. Entah apa yang terjadi dengan tidurku semalam. Mungkin aku kemarin tidur dengan posisi yang salah. Kedua bola mata ini juga terasa berat ‘tuk dibuka.

Jarum jam menunjukkan pukul 06.00 pagi. Oh, betapa kagetnya aku. Tiba-tiba saja aku jatuh dari kasur dan bruk…bruk… Terdengar suara jerit tangisku.

”Aduh… aduh…. sakit,” rintihku kesakitan karena jatuh dari tempat tidur. Ibu langsung datang dan membawaku ke atas tempat tidur.

”Emangnya ono opo anak lanangku, tesih esuk koh wis nesu koyo ngonoh,” tanya ibuku dengan penuh kasih sayang sambil membelai kepalaku.

”Aku baik – baik saja kok, Bu. Ibu jangan khawatir ya,” kataku meyakinkan hati ibuku agar tidak sedih.

Dan aku tersadar kalau hari ini bukan hari yang biasa bagiku. Hari ini aku harus berangkat ke kota untuk menunaikan tugas baruku yaitu kuliah. Berjuta perasaan mendera jiwaku. Senang karena telah masuk ke jenjang yang lebih tinggi setelah lulus dari SMA dan sedih karena harus kuliah di tempat yang lumayan jauh dan harus berpisah dengan Ibu untuk beberapa waktu meskipun tak lama. Kebetulan baru kali ini aku terpisah jauh dari orang tuaku. Aku terharu karena memang aku dapat masuk kuliah di Bina Sarana Informatika. Ibuku sangat bangga padaku.

Aku segera lari ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk barangkat ke Jakarta. Senyum kesedihan terpancar di raut wajah cantik ibuku saat kuucapkan kata – kata perpisahan.

”Bu, juanita berangkat dulu ya,” kataku sambil mencium tangan lembut ibuku dengan penuh kasih sayang. Lalu keningku pun dapat ciuman manis ibuku.

”Hati-hati yo anakku. Ibu doakan semoga kamu mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Ibu tidak bisa memberikan apa-apa. Ibu cuma bisa mendoakan kamu. Jangan lupa makan dan jaga diri baik-baik di sana.”

Dengan pelukan yang hangat kurasakan kesedihan yang teramat dalam pada diri ibuku. Namun apa boleh buat. Aku harus tetap berangkat demi cita-cita yang selama ini aku impikan. Berat hati aku melangkahkan kakiku keluar rumah sambil berpamitan pada ibuku. Jerit tangis hatiku merintih-rintih. Tapi aku berusaha sekuat hati menerima semua ini dengan penuh ketegaran.

Tiba-tiba aku teringat puisi yang aku buat kemarin malam. Dengan penuh cucuran air mata, kumainkan tanganku. Kugoreskan sedikit demi sedikit tinta yang ada di penaku. Kuukir kata demi kata sampai menjadi untaian kata.

Perpisahan ini adalah luka
Luka yang menusuk kalbu
Kepahitan batin …..
Sesaknya napas …..
Menjadi manis dengan hadirnya kenangan

Perpisahan ini adalah luka
Biarlah semua mengalir
Hanya air mata manis
Yang mampu menenangkan
Jiwa yang terguncang”

Aku adalah juanita, seorang anak desa yang merantau ke kota besar demi cita – cita yang luhur. Akhirnya namaku tercatat sebagai mahasiswa perguruan tinggi di kota Jakarta. Selama ini aku hanya bisa berangan-angan untuk bisa kuliah di kota metropolitan itu. Aku sempat kaget mengetahui kenyataan bahwa aku bisa meneruskan sekolah. Karena aku tahu siapa aku ini. Keluargaku pasti tidak akan mampu membiayai kuliah yang mahalnya selangit itu. Tapi aku bersyukur berkat dorongan teman dan guruku aku dapat mewujudkan mimpiku. Aku tidak percaya kalau kerja kerasku selama ini untuk mendapatkan beasiswa tidak sia-sia. Berhari-hari ku memohon petunjuk Yang Maha Kuasa agar dimudahkan jalanku untuk mewujudkan mimpi itu. Di lain hati aku sedih karena ayahku tidak berada disampingku untuk memberikan motivasi. Tapi aku berjanji pada diriku untuk berusaha sebaik mungkin agar tidak mengecewakan Ayah dan Ibu. Aku ingin menjadi kebanggaan bagi keluargaku dan bisa membahagiakan ibuku.

***

9 jam sudah kutempuh jarak rumahku menuju kota Metropolitan ini. Sepanjang perjalanan kulihat suasana luar. Banyak pohon-pohon menari-nari tertiup angin yang sepoi – sepoi. Mereka bergoyang-goyang penuh dengan kegembiraan. Dalam kereta aku hanya duduk terpaku sambil melihat sekeliling.

”Mau ke mana, mas?” sapa salah satu penumpang padaku. Setelah beberapa menit aku tersadar dari lamunan.

”Saya mau ke Jakarta?” kataku dengan nada ketakutan.

Aku belum pernah naik Kereta sejauh itu sendirian. Makanya aku takut saat orang yang duduk di sebelahku menyapaku. Lalu perbincangan itu pun berlangsung sampai kereta yang aku tumpangi tiba di stasiun akhir.

Akhirnya jam 3 sore saat terik matahari tepat berada di atas kepala kereta sampai di Stasiun Jatinegara.

”Panas sekali sih,” keluhku dalam hati.”Ternyata benar kata orang kalau Jakarta itu panas.”

Aku berjalan mencari bus kota yang nantinya akan membawaku ke kos. Sebelum ke sini temanku menawari aku kos-kosan. Jadi, aku tidak perlu bolak-balik kesana kemari mencari kos-kosan sendiri sehingga aku bisa menghemat biaya transport.

”Wow, besar sekali kota ini,” kataku dalam hati ketika pertama kali melihatnya.

Aku seakan tidak percaya dengan semua ini. Jakarta memang kota metropolitan. Aku melihat sekeliling jalan yang penuh dengan pabrik dan hilir mudik kendaraan yang memadati kota. Selama ini aku belum pernah melihat suasana seperti ini. Dari dulu aku hidup di desa terpencil yang jauh dari keramaian kota. Aku seakan-akan menjadi orang terasing di sini. Aku tidak punya sanak saudara disini. Tapi aku tetap bertekad untuk menaklukkan kota ini demi meraih cita – cita yang selama ini aku impikan. Hati kecilku berkata, ”Apakah aku bisa betah ya disini?”

Aku takut dengan suasana kota yang padat dengan keramaian. Aku berusaha bertahan di sini sampai aku menyelesaikan sekolahku nanti. Tapi ada kesan yang tidak mengenakkan membekas di benakku. Ketika kulihat polusi udara yang membuat napasku sesak. Aku langsung batuk. Aku memang agak alergi dengan yang namanya polusi.

***
Keesokan harinya, suara ayam membangunkan tidur pulasku. Aku melihat keluar kamar. Kulihat langit yang cerah nan biru menyapaku dengan penuh kehangatan. Aku segera mandi dan berangkat ke kampus.

“Masuk jam berapa, juanita?” tanya arif, teman sekamarku.

”Aku masuk pagi. Soalnya nanti mau ada acara penyambutan Maba (Mahasiswa Baru) di jurusan,” kataku dengan penuh semangat.

Dalam batin aku berkata, ”Aku ingin memulai lembaran hidup baru. Semoga aku tidak salah melangkah menjalani hari – hariku disini. Amin.”

Aku jalani masa – masa awal kuliahku dengan penuh semangat menggelora yang bisa merubah hidupku menjadi orang yang lebih berarti bagi orang lain.

”He, anak baru ya?” tanya orang yang ada di belakangku.

Aku langsung menoleh dan astaga aku langsung terdiam terpaku membisu tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku. Aku melihat ada makhluk yang cantik berdiri di depanku.

”Ini cumi (cuma mimpi) bukan ya?” kataku dalam hati.

”Eh….Iy….Iya….Aku memang anak baru,” kataku dengan terbata – bata dan jantungku pun berdebar – debar seperti digoncang gempa bumi saja.

Dan aku pun langsung tersadar bahwa aku tak boleh larut dalam kesenangan semata selama berada di sini. Aku harus bisa mewujudkan impian orang tuaku. Aku bertekad untuk membahagiakan mereka dengan sepenuh hati yang tulus. Tanpa ridho dan kerja keras mereka dari mereka aku yakin aku tidak akan bisa seperti sekarang ini.

”Kamu siapa ya? Aku kok jarang sekali melihatmu di kampus ini.”

”Kenalkan aku cindy. Aku adalah seniormu.”

“Ma…Maaf….Maaf, Kak. Aku tidak tahu.”

“Sudahlah. Gak pa pa kok. Kamu dari mana?” tanyanya dengan senyum manis mengembang di pipinya dan wajah imutnya semakin menambah rasa kagumku padanya. Ditambah lagi rambut keritingnya yang terlihat bergelombang bak ombak di lautan lepas yang tertiup angin.

”Oh, kenalkan Kak, aku juanita.” Dengan ragu – ragu aku berjabat tangan dengan cyndi tapi tangan kami tidak bersentuhan karena aku tahu kalau itu tidak diperbolehkan dalam Islam karena kami bukan mahram. Aku meneruskan perkenalanku dengannya. ”Aku mahasiswa baru disini. Aku datang dari desa. Aku ingin melanjutkan studiku di sini karena aku senang sekali dengan dunia teknik terutama komputer,” kataku dengan nada yang masih canggung karena aku belum mengenalnya dengan baik.

Perbincangan pun terus bergulir hingga menghabiskan makanan dan minuman yang tadi pagi aku bawa dari kos dengan tujuan untuk menghemat uang jajan. Dan suara adzan ashar pun berkumandang dengan merdunya di telinga hingga membuat hati yang mendengarnya terasa sejuk dengan alunan suara muadzin itu. Perbincangan pun akhirnya kuakhiri karena hari sudah sore. Aku mesti pulang ke kos dan belajar untuk menyiapkan hari esok yang lebih bersemangat dan lebih menyenangkan daripada hari ini.

”Kak, aku pulang dulu ya. Lain kali kita lanjutkan perbincangannya. Makasih ya, sudah mau menemani aku ngobrol di sini sehingga aku banyak tahu tentang kampus ini, ” kataku untuk mengakhiri perbincangan yang telah lama bergulir ini dengan senyum manis yang terpancar.

”Lain kali kita ngobrol lagi ya, juan. Aku senang bisa ngobrol denganmu sehingga aku tahu tentang makna hidup ini, ” kata cindy dengan nada yang tegas dan senyuman manis yang selalu mengembang di pipi imutnya dan matanya yang terlihat sipit seperti orang Cina.

***

Aku merasa bahagia berada di sini. Aku menemukan sebuah cita – cita dan cinta yang selama ini sulit sekali hinggap dalam benak hidupku. Hari – hari indah aku isi dengan semangat yang penuh dengan cinta. Aku dikelilingi oleh orang – orang yang senantiasa menyayangiku dan mau menjagaku dengan sepenuh hati mampu mengorbankan jiwa dan raganya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik demi cita – cita dan tekadku yang membara bagai nyala api yang takkan pernah padam. Aku ingin menuntut ilmu setinggi – tingginya. Seperti kata pepatah, Tuntutlah ilmu setinggi langit dan carilah ilmu itu sampai ke negeri Cina. Aku akan berusaha untuk menggapai mimpi – mimpi yang selama hanya menjadi angan – angan semata. Aku terus berusaha untuk menjadi sebuah lilin kecil yang senantiasa menerangi gelapnya malam walaupun lilin itu tak akan bertahan lama. Tetapi lilin itu terus memberikan cahayanya yang indah bagi semua orang sampai dia padam. Aku ingin menjadi orang yang berguna bagi kehidupan ini. Aku harus bisa menorehkan sejarah yang tak kan terlupakan. Pengalaman akan tetap menjadi guru yang terbaik. Itulah yang memberi aku semangat untuk terus maju pantang mundur.

Aku berdiri di depan jendela menikmati indahnya langit yang bertaburan dengan bintang – bintang malam. Langit yang gelap akhirnya terlihat bercahaya disana dengan senyum cerianya. Untuk sementara sinar matahari yang panas menghilang sekejap digantikan indahnya rembulan yang bersinar terang. Semua ketakutan yang menyelinap dalam relung hatiku tiba – tiba pudar digantikan oleh senyum kebahagiaan yang terpancar. Aku pun tersenyum seraya berkata, ”Hari esok kan penuh dengan suka cita. Fajar kan menjemputku dengan senyuman manisnya. Raihlah cita dan gapai cinta di depan mata. Semangat !!!” kataku sambil menggenggam tanganku yang kecil mungil itu.

Setelah itu aku pun mengambil penaku dan kutulis seuntaian kata di atas buku yang sudah terlihat lusuh itu. Aku mainkan penaku. Terdengar ketukan – ketukan pena yang menambah ramainya malam yang sepi dan udara yang tak begitu hangat menyelinap masuk membuat tubuhku menggigil kedinginan.

Hari ini adalah kehidupan
Dalam sekejap melahirkan suka cita
Kemarin adalah sebuah mimpi dan hari esok adalah sebuah bayangan
Jalani hari ini dengan senyum dan semangat untuk hidup lebih baik
Biarlah mimpi itu menjadi kenangan
Dan bayangan hari esok menjadi harapan dan kenyataan


Proyeksi Diri, 3 februari 2010

kenapa harus menangis selama masih bisa tersenyum? kenapa harus airmata yang keluar saat sedih mulai menyapa?

Lihatlah keluar, di sana masih banyak yang lebih susah darimu lihat mereka, pikirkanlah, sebelum kamu bersedih selalu bersyukur dengan apa yang kita dapatkan

hidup untuk dijalani, bukan untuk diratapi sejenak merasa sedih adalah lumrah, tapi jangan berkelanjutan masih panjang jalan yang harus ditempuh tidak cukup sampai di sini

ayo bangkitkan semangat, kejarlah impian berlari seiring berjalannya waktu pompa terus semangat, kuatkan hati tetap istiqomah di jalan-Nya

Allah bersama kita, jadi kenapa harus takut dan bersedih hati??

cerpen, 2 februari 2010

Toilet begitu sunyi malam ini. Entah apa yang dipikirkan oleh lalat-lalat kecil yang terbang mengitari lampu redup di atas kepalaku, yang tampak menikmati bau pekat di dalam ruangan menyedihkan ini bersama-sama. Betapa aku telah mencapai suatu tingkat kenyamanan yang membuai dengan duduk di sini sambil merasakan bokongku berkarat perlahan-lahan. Semilir angin dingin menerobos melalui ventilasi menyebarkan rasa kantuk berkali-kali. Api rokok terpejam dan menyala mengikuti irama denyut jantung. Samarnya suara tikus yang mencicit jauh di sana, menambah sempurnanya suasana tenang yang mengiringi parade ritual sakit perut yang kualami.

Walau sebenarnya perutku yang melilit itu sudah tenggelam di dasar WC beberapa menit yang lalu, namun sisa batang rokok yang terbakar ini menahanku untuk menikmati kesendirian dari dalam bilik sempit ini barang sejenak. Tak banyak yang kulakukan, selain melubangi paru-paruku lewat setiap tarikan napas dan memandangi sekelompok lalat yang tampak malu-malu untuk menyapaku. Kesendirian memang selalu terasa dingin seperti sebuah rumah kosong dimana kepulanganku dari keramaian dan berisiknya suara manusia dan keangkuhan wajah kota besar, disambut dengan pintu-pintu yang terbuka lebar. Ketidakpedulian menyelimuti diriku, ini adalah saat-saat yang indah untuk memikirkan diri sendiri dan menolak segala hal lain yang masuk ke dalam otak.

Empat sisi tembok putih menatapku dengan wajah yang pucat. Mereka tak mampu menyembunyikan lukanya yang terkelupas oleh roda waktu dan tangan-tangan jahil yang telah merampas keperawanannya yang putih. Tetesan dan rembesan air mata yang jatuh dari langit mewarnai umur tembok-tembok ini lewat garis-garis kecokelatan yang merambat pelan dari atap menuju basahnya lantai keramik. Begitu banyak hal yang telah mereka lalui dan ribuan wajah yang telah mereka lindungi. Tidak ada yang melebihi kesetiaan mereka dalam mendengarkan setiap keluhan para penyendiri yang tak berdaya. Betapa mereka telah meredam isak tangis para manusia kesepian dan menjaga setiap aduannya untuk tidak keluar dari ruangan ini. Dan lihatlah kerelaan mereka menyodorkan wajahnya untuk dijadikan kanvas yang merekam sidik jari riwayat sifat tolol dan kekanak-kanakan manusia melalui goresan tinta tak bertanggungjawab. Kini aku merasa sedikit malu dengan tembok-tembok ini yang mengepungku seakan sedang menghakimi aku atas semuanya yang telah mereka alami.

Aku memperhatikan dengan mata yang sombong kepada setiap coretan di sisi kanan tembok tempatku duduk. Seperti melihat sejarah kehidupan manusia yang pertama ditoreh lewat lukisan-lukisan di dalam gua-gua purba yang gelap dan tanpa kusadari bahwa jarak waktu yang ditempuh dari jaman itu hingga sekarang adalah bukti jalur perkembangan hidup umat manusia yang telah begitu panjang teraspal. Ratusan kata terangkai dalam warna-warni yang tersusun dengan berantakan dan saling bertautan membentuk lukisan abstrak di atas alas yang pasrah. Karya seni ini mengundang jiwa pengamatku untuk menelusurinya satu persatu.

’Sekali berarti, sudah itu mati’ tulisan itu berkata. Dilapisi oleh warna merah yang menyerupai darah dan goresan tegas membentuk tiap hurufnya. Sebuah kutipan milik seorang penyair besar yang tampak telah merasuki jiwa si penulis. ’Aku mau hidup seribu tahun lagi’ tulisan lain tak jauh dari yang pertama bersandar dengan berhiaskan gambar kawat berduri di sekitarnya dan tiga buah tanda seru di belakangnya. Seketika tembok ini menyiratkan hawa perasaan hangat manusia. Tampak jelas di mataku sekumpulan emosi yang tersurat dengan lantangnya menyuarakan batin yang selalu berteriak. Lima baris puisi terpampang di atas tembok yang sama. Ditulis dengan warna gelap. ’Yang terakhir mati adalah harapan’, begitu baris akhirnya berbunyi. Rasa kecewa terekam jelas lewat kata-katanya.

Kesedihan, rasa pasrah, sedikit kemarahan, air mata, benci, harapan kosong dan tentunya perasaan kecewa adalah tema yang menumpuk pada sastra tembok ruang WC ini. Sedikit demi sedikit semuanya merambat ke dalam diriku dan dalam hati kecilku, aku mendapati segenggam kebenaran yang coba dipancarkan oleh tulisan-tulisan itu. Betapa hidup tak ubahnya semacam arena perang untuk saling mengungguli, saling menyisihkan, dan saling menjatuhkan. Dan kekalahan akan datang kepada mereka yang berani menanggung rasa nyeri, siap ataupun tidak. Semakin lama aku semakin tertarik untuk membawa setiap tulisan-tulisan ini ke dalam ruang perenunganku.

Dalam keheningan yang membius, aku dibangunkan oleh rasa terkejut. Dari bawah tembok sastra ini, di celah antara tembok dan lantai toilet, sebuah tangan manusia terjulur dengan telapak tangan menengadah ke arak mukaku. Aku tak ingat bahwa ada seseorang di bilik sebelah.

”Boleh minta rokok?” telapak tangan kemerahan itu berkata. Lima detik kemudian aku bereaksi, mengambil sebatang rokok dari saku kemeja dan meletakkannya bersama korek api di atas tangan itu.

”Ambil saja,” seruku.

”Oh terima kasih.” Dan tangan itu menghilang lalu tak lama kemudian suara percik api bergema memadati ruangan.

Hembusan napasnya terdengar amat jelas di kedua telinga. Tangan kirinya muncul lagi dari celah bawah sambil menggenggam korek api gas warna hijau yang tadi kuberikan padanya.

”Terima kasih,” ia berkata untuk yang kedua kalinya.

”Sama-sama.”

Gelombang hening berkeliaran di dalam toilet. Seseorang ada di sebelahku, dan entah mengapa aku merasa sedikit canggung dengan kehadirannya. Salah satu dari kita harus memulai percakapan, begitu pikirku. Dalam situasi sekarang, aku adalah tipe orang yang hanya bisa menunggu, walau bagaimanapun juga aku berusaha memikirkan kata-kata yang tepat untuk memulai sebuah pembicaraan yang dapat memecahkan keheningan yang mengganggu ini.

Aku hampir membuka mulut saat suara yang dingin itu datang, ”Kau sedang sibuk?”

”Maksudnya?”

”Apakah aku mengganggu kegiatanmu di sana?”

”Oh tidak. Aku hanya menghabiskan rokokku di sini.”

”Baguslah. Kita bisa sedikit mengobrol kalau begitu.”

”Boleh.”

Sedikit aneh, bahkan untuk orang sepertiku, untuk mengobrol dengan seseorang tak dikenal di dalam toilet yang wujudnya terhalang oleh tipisnya tembok pembatas. Sepertinya dia juga tidak melakukan apa-apa di ruangannya, hanya duduk-duduk sepertiku. Hanya duduk-duduk di atas kloset porselen warna putih yang keras.

”Apa yang akan kita bicarakan?” aku bertanya.

Ia diam tidak menjawab. Maka aku memulai dengan mengajukan pertanyaan yang paling mudah, ”Siapa Namamu?”

”Tidak perlu tahu nama saya,” serunya dengan cepat, ”lebih enak kalau kita tidak saling kenal nama masing-masing.” Dahiku berkerut.

Rokokku sudah setengahnya terbakar. Dari suaranya, aku menebak-nebak bahwa dia seorang anak lelaki seusia remaja, atau tepatnya seorang remaja tanggung. Dan kini kami berdua kembali diam dengan tenang.

”Jadi, apa yang barusan kau makan?” aku mencoba membuka percakapan lagi.

”Makan?”

”Ya. Asal kau tahu, aku berada di sini gara-gara udang bakar sialan yang disajikan dengan….mungkin ratusan cabe merah dan kerabatnya. Aku tak bisa menahan perutku yang melilit. Dahsyat sekali. Yang jelas perutku terbakar. Untung saja restoran ini juga punya toilet.”

”Oh. Restoran ini memang membuatku mual.”

”Restoran sinting. Aku tidak akan makan lagi di sini. Jangan-jangan kau juga makan udang bakar itu?”

Aku tidak yakin tapi sepertinya aku mendengar sekilas suaranya bergema mengucapkan ’Eeeee…’ yang panjang, seperti memikirkan jawaban yang akan keluar dari mulutnya. Entahlah, aku bingung dengan orang ini. Tadi dia yang pertama mengajakku bicara, tapi sekarang dia kembali mengunci mulutnya rapat-rapat. Apa mungkin aku mengajukan pertanyaan yang salah? Atau bisa jadi dia ini adalah seorang yang pendiam dan malu-malu.

Kali ini aku tidak mencoba mengajaknya bicara. Aku memilih tenggelam dalam keheningan yang ia ciptakan. Detak jarum jam tanganku adalah satu-satunya suara yang kudengar. Lalat-lalat telah pergi entah kemana, aku merindukan suara bising sayap mereka. Aku menghirup dan menghembuskan asap rokok dengan keras, sengaja membuat sedikit keributan.

”Sup ayam,” tiba-tiba ia bicara, “satu-satunya makanan yang pernah kumakan di restoran ini adalah sup ayam. Dan memang rasanya agak pedas,”,suaranya sedikit serak kali ini.

”Tapi aku tidak alergi dengan pedas. Maksudku, alasanku ke sini bukan karena sakit perut atau apalah, cuma…,” jeda kembali terulang.

”Ingin bicara denganku kan?” Aku tak sabar menunggu.

Dia tertawa kecil, sedikit menyejukkan di telingaku.

”Yaa, bisa dibilang ini seperti sebuah ritual buatku. Hampir setiap malam aku datang ke sini, dan,” ia terkesan berhati-hati dalam menyusun setiap kalimatnya, ”semacam duduk-duduk di tempatmu berada sekarang. Menghabiskan sedikit waktuku.”

Biar kuanalisis sebentar. Anak ini datang ke toilet serba putih ini, tanpa suara, tanpa sepengetahuanku, dan tanpa basa-basi langsung mengajakku bicara seolah-olah aku ini temannya. Tanpa perkenalan, tanpa jabat tangan – kecuali dengan sebatang rokok dan korek api yang kuberikan padanya – dan tanpa nama sama sekali, aku tak tahu harus memanggilnya apa. Aku yakin bahwa ia masuk ke restoran ini tanpa memesan apapun, mungkin juga tanpa menoleh sedikitpun pada pelayan atau hanya sekedar duduk-duduk sebentar di kursi, melainkan langsung meluncur menuju toilet ini, mengunci diri di dalamnya dan melakukan ritual. Satu-satunya ritual yang kukenal yang pantas dilakukan di toilet adalah ritual yang baru saja kujalani beberapa menit yang lalu dengan susah payah. Inikah yang terjadi pada remaja jaman sekarang? Masuk ke restoran hanya untuk menikmati nyamannya kloset sambil mungkin berpikir tentang masa depannya?

”Kalau begitu kamu kenal dengan orang tak tahu malu yang mencoret-coret dinding di dalam sini?” Pertanyaan basa-basi. Aku tak peduli siapa yang melakukannya.

”Ya,” serunya dengan nada pelan, ”aku orangnya.”

Mulutku seperti ditampar. Kehebohan terjadi di dalam otakku untuk mencari kalimat yang tepat untuk menanggapi pernyataannya tadi. Bahkan asap rokokku ikut merasakan kalang-kabut. Lalat-lalat kembali berputar-putar di sekitar lampu dengan kesetanan.

”Wow! Bagus kalau begitu,” semoga ia tidak menangkap irama kepanikanku, ”maksud saya, untuk karya seni sebagus ini, sangat tak tahu malu apabila hanya dipajang di dinding WC yang jorok ini. Seharusnya kau bisa lebih menghargai seni dengan menaruhnya di tempat-tempat yang pantas, atau di tembok kota sekalian biar orang-orang bisa melihatnya.”

”Oh ya?”

”Tentu saja. Kamu pikir aku rela menghabiskan waktu lebih lama di dalam sini kalau bukan karena ingin menikmati coretan-coretan ini. Ada kekuatan sastra di dalamnya,” aku tak tahu apa yang sedang kukatakan.

”Oh ya?”

”Ya. Aku punya latar belakang seni dan aku tahu apa yang sedang kukatakan,” aku berbohong lagi. Latar belakang seniku adalah mencoret foto muka presiden di ruang kelas sekolah dasarku dulu. Tapi setidaknya setengah dari daya tarik corat-coret ini memang berhasil menarik perhatianku. Sepertinya aku telah berhasil membawa pembicaraan ini ke arah yang lebih baik.

”Ritual yang kumaksud adalah mencoret-coret dinding ruanganmu itu. Tak disangka ada juga orang seperti anda yang memperhatikannya.” Tentu saja, dengan coretan sebesar ini, sebanyak ini, siapa yang tidak akan memperhatikannya. Tanya saja lalat-lalat ini.

”Oh ya? Untuk apa?”

”Menurutmu?”

Menurutku karena kau adalah anak iseng yang tidak punya hal bermanfaat lain yang bisa dikerjakan selain menginap semalaman di dalam toilet ini, sama seperti kelakuan remaja aneh lainnya. Dilihat dari isi tulisan dan gambar-gambarnya - seperti seorang anak yang gantung diri, perempuan kerdil yang menangis, dan sebuah ledakan dengan gradasi warna merah yang indah - aku mengira bahwa dinding ini adalah bagian dari buku hariannya yang diisi oleh keluhan atau semacam curahan perasaan untuk seseorang yang bisa dibilang sangat kesepian. Persis seperti kesan yang kutangkap sebelumnya bahwa orang ini adalah seorang pendiam yang gemar memendam api dan membiarkannya menjalar di dalam hati. Barangkali hingga membusuk.

”Mmm…menurutku, ini adalah semacam cara anak muda jaman sekarang dalam mengekspresikan sesuatu, ya kan? Seperti coretan-coretan lain yang sering kulihat di tembok-tembok pinggir jalan. Hanya saja ini lebih…mmm…katakanlah, lebih kelam, lebih gelap, lebih menonjolkan sisi gelap manusia, lebih seperti perasaan kesepian, atau…yah tak tahulah…tapi kau telah menggambarkan perasaan-perasaan tersebut dengan baik, seakan-akan kau memang mengalaminya sendiri.”

Gemeretak tembakau yang terbakar terdengar nyaring dari tempat ia berada. Ia kembali mengatupkan mulutnya setelah mendengar pendapatku, mungkin sedang mengolah setiap kata yang ia dengar di suatu tempat di kepalanya. Rokok di tangan kananku mulai memendek dan aku mulai bosan berada di sini.

“Ya, aku memang…memang menuliskan semua yang kurasakan di sana,” serunya dengan nada yang semakin muram.

“Semua yang kurasakan hampir tiap hari,” ia memberikan penekanan dan menambahkan unsur melodramatis dalam kalimatnya.

Aku menolehkan mukaku ke arah biliknya.

“Remaja adalah tingkat paling rapuh dalam riwayat hidup manusia,” rasa simpati mulai merangkak keluar dari kepalaku, “tapi selama kau bisa memanfaatkannya dengan baik, kau bisa menemukan apa yang kaucari selama ini. Jangan terlalu disesali, kita adalah orang yang sama. Masa remajaku juga diisi oleh rasa kesal, seakan-akan tidak ada hal benar yang dapat dilihat oleh matamu di dunia ini. Namun semuanya akan berubah.”

“Entahlah, aku tak yakin, dan kita bukan orang yang sama. Aku hanya membenci semua hal dan ingin sekali berdiri di puncak bumi ini dan memarahi semua orang-orang yang pernah kukenal. Aku lelah ditertawakan. Aku bertaruh bahkan seorang Gandhi pun akan memiliki keinginan untuk membunuh bila ia tahu apa yang kurasakan.”

Kali ini aku yang terdiam. Orang seperti dia memang kadang sulit untuk ditebak, karenanya aku memilih untuk berhati-hati.

“Ya, kau benar. Kadang aku berpikir bila Gandhi diberi kesempatan kedua untuk hidup lagi, ia akan berubah menjadi seorang maniak yang mencintai perang. Aku pernah bermimpi sedang berkelahi dengan Gandhi dan itu membuatku senang.”

“Serius? Kau berkelahi dengan Gandhi? Siapa yang menang?”

“Aku lupa. Tapi aku membuat hidungnya berdarah.”

“Hebat. Seharusnya dia memang jadi ahli berkelahi. Atau mungkin saja saat ini, di akhirat ia mengajak para malaikat untuk bertarung dengannya sebagai kekesalan atas emosinya yang tak tersalurkan di dunia.”

”Ya mungkin saja. Bagiku itu cukup masuk akal. Itu yang akan kulakukan kalau menjadi Gandhi. Aku akan menghajar para malaikat.”

”Menurutmu siapa yang paling cocok untuk melawan Gandhi?”

”Mmm…siapa ya? Mmm…Adolf Hitler!”

”Brillian! Bayangkan bagaimana ia mencabuti kumisnya satu persatu,” ia setengah berteriak.

”Itu akan menjadi tontonan yang paling menarik di akhirat. Gandhi sang Gladiator mengalahkan Hitler si Pecundang!”

Kami berdua tertawa.

”Ide yang bagus. Kalimat itu akan kutulis di tembok malam ini.”

”Asalkan kau senang Kawan, aku tak keberatan.”

”Bukan begitu, alasannya adalah aku mengenal seseorang yang wajahnya mirip seperti Hitler, bahkan kelakuannyapun sangat kelewatan. Dia orang yang kubenci, selalu menuntutku untuk begini-begitu dan tak pernah sama sekali mendengarkan apa yang kumau. Aku hanya membayangkan si Hitler itu akhirnya dikalahkan oleh sosok Gandhi, orang yang selama ini tertindas oleh egonya.”

”Maksudmu kau yang menjadi Gandhi mengalahkan bapakmu si Hitler itu?”

Ia kembali membisu. Suara-suaranya yang tadi keluar seperti terhisap ke dalam lubang air di lantai basah. Keriangan yang menyeruak sekarang terpendam di dasar bumi. Aku tak berani mengucapkan apa-apa. Waktuku telah usai, rokok telah kubuang dan kuinjak, sekarang yang kuinginkan adalah pergi dari tempat ini dan mengucapkan salam perpisahan pada tamu tak terlihat ini.

”Bagaimana kau tahu kalau dia adalah ayahku?”

Suaranya terdengar pelan. Aku bermaksud untuk pura-pura tidak mendengar dan menyelinap keluar, tapi aku terdorong untuk mengakhiri perbincangan ini dengan baik.

”Eeee….tidak, aku….aku hanya menebak saja. Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu. Aku tidak bermaksud un…”

”Ah tidak apa-apa. Kau mau pergi?”

“Ya, aku harus…harus pulang.”

“Oke, tapi sebelumnya, maukah kau melihat tulisanku sekali lagi, dan memberitahuku kata-kata apa yang kausuka dari sana?”

“Mmm….dari tadi aku tertarik dengan tulisanmu yang berbunyi ‘Daripada cinta, uang, kepercayaan, popularitas, dan keadilan, lebih baik berikan aku kebenaran!’. Kalimat yang sangat provokatif.”

“Pilihan yang bagus, aku mengutipnya dari seorang penyair. Sekedar informasi, itu adalah kalimat pertama yang kucoret di dalam toilet ini.”

“Ya, aku menyukainya.”

“Oh ya, sebelum kau pergi, kira-kira berapa menit waktu yang kaubutuhkan untuk keluar dari restoran ini?”

“Maksudmu?”

“Ya, kau tahu maksudku.”

“Mmm…mungkin sekitar 5 menit.”

“Kuanggap itu 10 menit.” Tat tit tat teet toot tit tut. Dari dalam biliknya terdengar suara tombol-tombol yang ditekan, seperti suara yang timbul ketika aku menuliskan pesan singkat di handphone.

”Baiklah, aku pergi Kawan. Mungkin kita akan bertemu lagi suatu saat.” Aku mengetuk kepalan tangan kananku pada pintu biliknya dan pergi melenggang dari ruangan itu.

”Kau tahu di mana kau akan menemukan aku.”

***

Jam digital di mobilku menunjukkan pukul 21.12, tepat sekitar 10 menit dari saat aku meninggalkan toilet itu ketika dalam kegelapan malam yang beku, aku merasakan permukaan jalan bergerak-gerak seperti ada sesuatu sedang menjalar di dalamnya. Ini terlalu singkat untuk disebut gempa bumi, karena getaran tersebut hanya berlangsung kira-kira 2 detik dan disertai oleh suara berdebum yang memekakkan telinga.

Tanpa pikir panjang aku melompat keluar dari mobilku. Yang pertama terbesit adalah aku tak ingin terjebak di dalam mobilku dan segera berlari mencari tempat perlindungan yang aman. Suara riuh manusia berceceran memenuhi udara pengap ini. Diriku berada di ambang kepanikan dan terus memastikan diri bahwa aku masih berdiri memijak tanah. Aku menoleh ke belakang, asal muasal suara keras tersebut. Dan disitulah aku menatap pemandangan indah yang bersinar di kedua bola mataku yang menciut.

Restoran itu kini terbakar. Api dalam kobaran yang besar menari-nari dengan gemulai dan tak menghiraukan suara teriak yang menghampirinya. Asap hitam mengepul menjangkau bulan yang sedang terang benderang. Restoran telah menyatu dalam gradasi warna merah, oranye, dan kuning, menerangi sudut kota dengan kemegahan tak terucapkan. Mahkota emas sang raja yang berkilauan, pantulan sekumpulan bunga matahari yang berbaris di taman, wajah iblis sedang memancarkan senyum manisnya. Aku hanya terpana, diam tak bergerak.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk menerka bahwa bom telah meledakkan restoran udang bakar pedas itu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, dan rasanya aku hanya dapat membayangkan momen terakhirku di toilet itu dengan jelas. Hanya itu yang terus berdengung di pikiranku sekarang. Dan saat aku menengadahkan wajahku ke langit, aku seperti melihat sosok teman toilet misteriusku itu terbang lepas menuju angkasa sambil membawa kesendiriannya dalam keabadian.

”Selamat jalan. Semoga kau bertemu Gandhi di sana.”

by Aatsem


BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

Profil

Foto saya
Jakarta, jakarta selatan, Indonesia
Remaja. Tinggal di Jakarta. Sedang berusaha menemukan jawaban dari "Siapa saya?". Mencintai binar mata kanak-kanak, langit senja, aroma tanah basah, gelembung sabun, cokelat panas, tertawa keras-keras, dan berpelukan. Tergila-gila pada blog, humor, dan segala jenis buku. Teman yang menyenangkan dan menyebalkan, tergantung suasana hati. Baginya, menulis adalah terapi sekaligus sarana pencarian jati diri. Jadi, jangan tertipu oleh tulisan. Sapa dia jika bertemu di jalan, karena dia akan menyapa balik. Tapi jangan coba-coba menginjak kakinya di dalam angkot, atau menghembuskan asap rokok tepat di mukanya.

Followers

Total Tayangan Halaman

Popular Posts